KBR68H, Jakarta – Nama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah belakangan ini kerap muncul dan sering menjadi “headline” di hampir semua media, baik cetak maupun elektronik. Terlepas dari pemberitaan seputar kasus korupsinya, fenomena Dinasti Politik Ratu Atut memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia bahwa betapa bahayanya ketika kekuasaan didominasi oleh satu garis keturunan keluarga saja.
Kondisi tersebut akan membuat si penguasa menjadi tak terkontrol dan tak memiliki batasan pada kekuasaannya. Akibatnya, korupsi merajalela di wilayah tersebut dan rakyat menjadi korban akibat keserakahan sang penguasa.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat politik dinasti sedikitnya terjadi di 57 daerah, misalnya di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Maluku. Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng mengatakan, ke-57 daerah ini memiliki posisi kekuasaan yang beragam, mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Kata dia, setidaknya ada tiga pola dinasti.
“Pertama adalah pola yang berbeda kamar. Kalau bapaknya bupati, maka anaknya Ketua DPRD, seperti yang terjadi di Pasuruan. Pola kedua adalah berbeda jenjang pemerintahan. Di Lampung bapaknya gubernur, anaknya bupati di daerah tertentu. Pola ketiga adalah pola yang regenerasi. Jadi hari ini, misalnya bapaknnya yang berkuasa, maka besoknya anaknya atau istrinya yang berkuasa, seperti yang terjadi di Bangkalan dan Bantul misalnya,” ujarnya.
Menurut Robert dalam Program Daerah Bicara KBR68H, dampak negatif dari politik dinasti adalah tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi calon kepala daerah dan juga publik. Sebabnya, dinasti politik tidak lepas dari praktek kolusi dan nepotisme. Belum lagi calon kepala daerah yang maju atas dasar kekeluargaan, dituding tidak punya cukup kemampuan dalam hal mengurus suatu pemerintahan.
Menanggapi masalah tersebut, Robert mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Lewat UU itu nantinya, kekuasaan seorang kepala daerah dapat dibatasi, terutama soal masa jabatan seorang kepala daerah.
Sebenarnya draf RUU sudah lama diberikan oleh pemerintah kepada DPR, hanya saja pembahasan alot di tingkat elit menyebabkan RUU tersebut belum juga disahkan. Wakil Komisi Dalam Negeri DPR, Arief Wibowo mengatakan, saat ini pihaknya tengah mencari formula yang tepat agar kekuasaan kepala daerah tetap dapat dibatasi tanpa harus melanggar hak konstitusi seorang warga negara. Pasalnya kata dia, setiap warga negara memiliki hak sama.
“Jadi, pada dasarnya kita memang menolak Politik Dinasti, tetapi pada sisi yang lain karena ada yang disebut dengan hak konstitusional itu, maka mesti diatur dengan tepat dan hati-hati. Jadi kalau dianggap DPR, misalnya pro politik dinasti, itu tidak benar,” ujarnya.
Kata Arief, kini DPR sudah memiliki solusi untuk mengantisipasi politik dinasti tidak lagi terjadi, yaitu dengan melakukan uji publik kepada setiap calon kepala daerah. Sistem ini nantinya akan melibatkan masyarakat di daerah tertentu untuk berkecimpung langsung dengan proses seleksi calon kepada daerahnya. Dengan jalan tersebut, seorang kepala daerah yang memiliki kemampuan dan berintegritas tinggilah yang akan terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu, dengan melibatkan masyarakat langsung, maka proses pencerdasan politik kepada masyarakat juga bisa dicapai.
Masyarakat punya pendapatnya sendiri. Suwardi dari Sambas, Kalimantan Barat berpendapat bukan politik dinastinya yang bermasalah. Sebab, tanpa itu pun, banyak daerah bermasalah. “Ini merupakan salah satu pendidikan politik dan pembelajaran demokrasi. Jadi menurut saya wajar saja karena politik identik dengan kepentingan dan kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas. Justru itu yang harus dievaluasi,” ujarnya.
Berbeda dengan Suwardi, Rifky dari Kuala Tungkal, Jambi, menganggap politik dinasti kerap digunakan oleh salah satu keluarga untuk memperlancar proses korupsi. “Saya memang tidak faham soal politik, tetapi menurut saya, tanpa dinasti pun praktek KKN banyak terjadi. Jadi dinasti politik hanya akan mempermudahkan mereka untuk saling berkomunikasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan pembatasan kekuasaan dan masa jabatan bukan satu-satunya opsi yang harus dilakukan untuk mencegah kemunculan politik dinasti. Politik dinasti bisa dicegah jika masyarakatnya melek politik.
“Ya, banyak ya yang harus dilakukan, misalnya transisi demokrasi yang belum tuntas. Terus juga sekarang adalah di tingkatan legislasi terkait perundang-undangannya. Kemudian juga birokrasi yang profesional, karena ini juga bisa menjadi filter untuk mengurangi dinasti politik. Kemudian yang paling penting adalah pendidikan politik masyarakat, karena masyarakat sangat penting untuk dicerdaskan,” ujarnya.
Editor: Fuad Bakhtiar
Meretas Politik Dinasti Kepala Daerah
Nama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah belakangan ini kerap muncul dan sering menjadi

BERITA
Kamis, 27 Feb 2014 13:35 WIB


politik dinasti, dinasti politik, politik dinasti kepala daerah
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai