KBR68H, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri menyatakan pemilihan kepala daerah terbuka dengan sistem paket menjadi pangkal konflik kepala daerah dengan wakilnya di kemudian hari. Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek alias Doni mengatakan 93,85% hubungan kepala daerah dan wakilnya yang dipilih secara paket tidak harmonis. Penyebabnya karena koalisi prematur partai politik untuk mengusung calonnya. “Jadi seperti kawin paksa, karena hanya ingin mendulang suara agar terpilih,” jelas Doni saat program Daerah Bicara KBR68H
Kondisi tersebut menghasilkan pasangan yang sangat retan konflik. Keharmonisan pasangan kepala daerah hanya bertahan di awal kepemimpinan. Di tahun selanjutnya, konflik mulai muncul dan mempengaruhi stabilitas pemerintahan. “Banyak yang mengatakan 6 bulan pertama bulan muda, selanjutnya petaka, karena akan ada perbedaan antara kedua belah pihak,” kata Doni.
Jika melihat apa yang terjadi di Kota Surabaya, nampaknya penyebab konflik tak cuma karena koalisi prematur partai-partai pendukungnya. Jika dugaan publik benar bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan wakilnya, Wisnu Sakti Buana berkonflik, maka pemicu konflik bisa lebih dari sekedar yang disampaikan Kementerian Dalam Negeri. Sebab, Tri Risma dan Wisnu Sakti Buana sama-sama dari PDI Perjungan.
Kabar yang beredar di publik, Tri Risma ingin mundur dari jabatannya setelah Wisnu dilantik menjadi Wakil Walikota Surabaya oleh Gubernur Jawa Timur. Wisnu dipilih untuk menggantikan Bambang DH yang mundur pada Agustus 2013. Tapi anggota DPRD Surabaya dari Fraksi PDI P, Armudji, membantah terjadi pecah kongsi antara Risma dan Wisnu. Komunikasi antara keduanya masih cukup intens. “Komunikasi ini terus dilakukan dan kita dukung untuk Risma,” jelas Wisnu.
Armudji juga membantah rumor yang menyebutkan Risma marah lantaran wakil untuknya dipilih oleh DPRD. Menurut Armudji saat itu, ada dua nama yang sudah disetujui Risma untuk dipilih. Pemilihan tersebut juga sudah melalui mekanisme yang tepat. “Bu Risma sudah tahu. Kemarin pas pelantikan, Bu Risma tidak hadir karena sakit dan ada suratnya. Kita positif saja,” kata Armudji.
Kata Armudji, Fraksi PDI P DPRD Kota Surabaya tak menginginkan Risma mundur. Kata dia, amanat yang dipegang harus dijalankan sampai tuntas. “Kita dari mendukung kebijakan wali kota, sekarang tidak ada halangan rintangan untuk membangun Surabaya yang lebih bagus,” kata Armudji
Tapi apa pun yang terjadi di Kota Surabaya, Kementerian Dalam Negeri berupaya mengubah keadaan adanya konflik-konflik kepala daerah dan wakilnya itu. Dalam rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah, pemerintah mengusulkan agar pemilihan tak dilakukan dengan sistem paket. Kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Reydonnizar Moenek, nantinya yang dipilih hanya kepala daerah saja, sedangkan wakilnya dipilih sendiri oleh kepala daerah setelah 6 bulan dilantik. “Wakilnya ini akan berasal dari birokrasi,” kata Doni. Wakil kepala daerah yang berasal dari birokrasi dinilai lebih punya pengalaman dalam birokrasi dan regulasi yang baik.
Pemilihan kepala daerah dengan sistem paket terlalu politis. “Dalam konsen menjamin stabilitas negara, kami tempuh tidak paket, dibanding dengan belakang ini kepala dan wakil dipilih bersama, sehingga ini terjadi politisasi birokrasi daerah,” kata Doni. Namun, keberadaan RUU pilkada masih menjadi perdebatan di parlemen. Sejumlah anggota fraksi masih banyak yang mempertahankan pilkada dengan sistem paket. Namun pemerintah akan tetap pada pilihan wakil kepala daerah berasal dari birokrasi. “Kita prihatin 318 kepala daerah sebagai tersangka dan terpidana, di satu sisi kita ingin meningkatan demokrasi, tetapi di sisi lain kepala daerah kita terjerembab,” terang Doni.
Pengamat otonomi daerah, Tri Ratnawati mengatakan, tak selamanya pemilihan langsung berdampak negatif. Pilkada langsung harus dipertahankan, tetapi perlu diperbaiki. “Menurut saya jangan ketika kita ada masälah langsung kembali ke orde baru, tiba-tiba kepala daerah harus dipilih pusat,” terang Tri. Langkah yang lebih baik adalah dengan meniadakan wakil kepala daerah. Kata dia tugas wakil, bisa diambil alih oleh sekretaris daerah yang memang mengetahui seluk beluk pemerintahan.
“Ini akan mengurangi biaya politik. Lebih baik kepala daerah dan dibantu sekda. Ini akan ada pendekatan baru. Kemampuan sekda sangat oke asal jangan terkena kasus korupsi,” kata Tri.
Ajang pilkada menurut dia, bisa sebagai alat untuk mengenalkan proses demokrasi kepada masyarakat, namun kenyataan selama ini, pilkada justru tak mencermin itu. “Kita lihat masih banyak pejabat yang menyebar uang saat pemilu, ada yang tak siap kalah lantas membuat kerusuhan. Ini kan edukasi yang salah,” kata Tri.
Editor: Fuad Bakhtiar
Kawin Paksa Kepala Daerah Dalam Pilkada
KBR68H, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri menyatakan pemilihan kepala daerah terbuka dengan sistem paket menjadi pangkal konflik kepala daerah dengan wakilnya di kemudian hari.

BERITA
Kamis, 20 Feb 2014 12:17 WIB


kawin paksa partai, koalisi prematur, konflik kepala daerah, pilkada terbuka
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai