KBR68H, Jakarta - Kepolisian Indonesia membutuhkan kerjasama dengan wartawan atau jurnalis selama proses pemilu 2014. Juru Bicara Mabes Polri Rony Frenky Sompie mengatakan jurnalis mampu memperoleh informasi dengan cepat, terutama di daerah. “Kalau petugas kita kan terbatas. Lagian tidak semuanya punya piranti canggih untuk mengakses informasi," ujarnya. Dalam wawancara di Program Sarapan Pagi KBR68H, Rony Sompie mengatakan informasi yang didapat polisi daerah lebih sering diperoleh dari media massa, ketimbang informasi dari polisi pusat.
Beberapa waktu lalu, Kepolisian Indonesia mengajak jurnalis untuk terlibat menjadi intelijen dalam pengawasan Pemilu 2014. Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan polisi belum memiliki jaringan yang cukup kuat hingga pelosok daerah. Menurutnya, informasi yang diperoleh dari jaringan jurnalis itu bisa disampaikan kepada intelijen dan Polri akan menindaklanjutinya. Ia memaparkan bahwa peran intelijen sangat penting untuk mendeteksi potensi konflik menjelang Pemilu 2014.
Gagasan Kapolri itu ditentang Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Sekretaris AJI Indonesia, Suwarjono mengatakan, tugas-tugas jurnalistik berbeda dengan intelijen. "Jurnalis mengumpulkan informasi untuk disampaikan kepada khalayak luas, sedangkan informasi yang didapat intelijen sifatnya tertutup," ujarnya di kantor KBR68H.
Menanggapi hal tersebut, Jubir Mabes Polri Rony Frenky Sompie menyatakan jurnalis tidak harus menanggalkan idealismenya saat digandeng oleh polisi. "Kita tahu perbedaan pekerjaan wartawan dan intelijen," ujarnya. Kata dia, Polri hanya ingin merangkul jurnalis sebagai mitra kerja, bukan sebagai bawahan.
Rony mengklaim hingga saat ini belum ada jurnalis atau media massa yang mendaftar menjadi rekan polisi atau intelijen di masa pemilu ini. "Kita hormati profesi jurnalis. Tapi ini kan demi keberlangsungan Pemilu yang jurdil (jujur dan adil – red) dan luber (langsung, umum, bebas dan rahasia – red). Demi keamanan negara juga," kilahnya.
Jika keperluannya seperti itu, menurut Sekretaris AJI Indonesia, Suwarjono, polisi cukup menggunakan informasi dari jurnalis tanpa mengajaknya menjadi intelijen. "Selain itu, sekarang sudah ada gerakan seperti Matamassa yang berguna untuk memetakan potensi kecurangan ataupun konflik saat pemilu." Matamassa merupakan program pemantauan pemilu yang digagas oleh koalisi sejumlah organisasi yang dimotori oleh Aliansi Jurnalis Independen.
Lebih lanjut Suwarjono meminta agar jurnalis tidak menjadikan himbauan polisi ini sebagai ladang penghasilan tambahan. "Kalau sudah bekerja nanti, bisa saja jurnalis justru lebih senang menjadi intel karena lebih sejahtera." Tak pelak, itu dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi jurnalis.
Menurut Suwarjono, tidak tertutup kemungkinan ada jurnalis yang merangkap menjadi intelijen di lapangan nanti. "Tapi saya yakin, kalaupun ada, itu dasarnya intelijen yang menyamar menjadi wartawan, bukan wartawan yang tergoda menjadi intelijen," ujarnya.
Lebih jauh Suwarjono mengatakan masyarakat saat ini sudah melek sehingga tidak akan mudah dibohongi. "Kalau curiga dengan wartawan tinggal lihat saja media tempat dia bekerja. Lihat contoh tulisannya," imbuhnya.
Editor: Fuad Bakhtiar
Jurnalis vs Intelijen
Kepolisian Indonesia membutuhkan kerjasama dengan wartawan atau jurnalis selama proses pemilu 2014.

BERITA
Selasa, 11 Feb 2014 13:37 WIB


polri gandeng wartawan, wartawan intelijen, AJI intelijen
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai