KBR68H, Jakarta - Di perhelatan Oscars 2014, 2 Maret mendatang, Steve McQueen berpeluang besar menjadi sutradara kulit hitam pertama yang meraih gelar sutradara terbaik. Film besutannya, ‘12 Years a Slave’ direview nyaris tanpa cela oleh para kritikus.
Film berdurasi dua jam lebih ini mengangkat tema tentang perbudakan dan rasisme di Amerika di akhir abad 19. Steve menyajikan betapa mengerikan dan menjijikkannya praktik diskriminasi. Sebab ini mencoreng sejarah peradaban manusia.
Film tersebut berdasarkan kisah nyata. Ini artinya penonton akan semangat mengikuti kisah nyata yang diangkat film. Penonton akan berjumpa dengan perjalanan hidup sosok yang riil. Film tersebut bersentral pada Solomon Northrup diperankan oleh Chiwetel Ejiofor yang baru saja menerima penghargaan BAFTA sebagai aktor terbaik. Solomon seorang violis negro yang terpelajar dan memiliki kehidupan layak bersama istri dan dua anaknya di Saratoga, New York.
Kemalangan Solomon dimulai ketika ia dijebak oleh dua pria yang menawarinya mengerjakan musik sebuah sirkus di Washington. Di wilayah tersebut, perbudakan masih sangat kental. Solomon lantas dibuat mabuk ketika makan malam terakhir sebelum ia balik ke New York. Ia terbangun di pagi hari dalam di sebuah ruangan dengan kondisi kaki dan tangan terantai. Di saat itulah, terjadi pembalikan identitas yang ekstrem, Solomon negro yang bebas, menjadi Solomon negro komoditas.
Di saat itu pulalah, mungkin pertama kalinya Solomon dipandang dan diperlakukan seperti anjing sebagaimana para kulit putih rasis memandang orang kulit hitam. Ia dihantam, dicambuk punggungnya karena tidak mau menerima identitas baru yang dipaksakan untuknya.
Sungguh mengiris hati ketika Solomon melepas baju yang penuh koyakan dan darah di bagian punggung. Beberapa adegan flash back kerap menyela, memberikan komparasi “before and after” kondisi hidup Solomon yang berubah drastis dalam hitungan jam.
Solomon tanpa daya dikirim ke Selatan dengan menggunakan kapal untuk dijual. Seorang agen budak (diperankan Paul Giammatti) memberinya nama baru “Platt”. Solomon berupaya memprotes, tapi yang diterima adalah tamparan sebelum ia sempat kata “Solomon” keluar dari mulutnya. Solomon kemudian dijual ke Ford (Benedict Cumberbatch), seorang tuan tanah yang memendam simpati pada para negro.
Namun, Ford tidak kuasa menentang arus masyarakat saat itu. Ia hanya bisa membuang pandangan dan menentramkan hati ketika seorang budak perempuan dipisahkan dari anaknya. Solomon menjadi budak kesayangan Ford, ia diberi keluasan untuk menunjukkan otak briliannya kepada majikan. Ford bahkan memberikan hadiah sebuah biola.
Solomon Northrup kemudian menuliskan memoir yang menginspirasi film ini. Dari sisi historikal, banyak kritikus yang mengafirmasi kebenaran konteks kisah tersebut. Berbagai pujian yang diperoleh sutradara maupun para aktor dan aktris menjadikan film ini sangat layak ditonton. Tinggal menghitung hari, apakah pujian tersebut juga memberi 12 Years a Slave piala Oscars, termasuk film terbaik.
Editor: Pebriansyah Ariefana