Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengaku telah minta izin untuk mendukung kampanye pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki dalam pemilhan gubernur Jawa Barat, hari Minggu lalu. Meski ada aturannya, kata Jokowi, izin cuti tidak perlu dilakukan lantaran kegiatannya ada di hari libur. Sebelumnya, Panwaslu Jawa Barat mengancam akan menjatuhkan sanksi pasangan Rieke - Teten untuk tidak berkampanye di hari terakhir jelang Minggu tenang. Panwaslu menilai pasangan ini melanggar aturan karena melibatkan Jokowi yang terlambat izin cuti untuk membantu berkampanye. Seperti apa sebenarnya aturan seputar cuti pejabat pemerintah dalam berkampanye? Simak perbincangan KBR68H dengan pakar hukum tata negara Refly Harun dalam program Sarapan Pagi.
Kalau kita membaca di media ini simpang siur aturannya, yang benar sebetulnya bagaimana?
Aturan mengenai cuti ini ada di Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan ada di PP No. 6 Tahun 2005 sebagai turunannya.
Itu tentang apa?
Tentang cuti bagi pejabat negara, bagi kepala daerah. Jadi kalau di Undang-undang No. 32 Tahun 2004 itu memang hanya membahas cuti kepala daerah yang menjadi calon kembali. Jadi baik itu kepala daerah maupun wakil kepala daerah, kalau dia kampanye maka dia harus mengajukan cuti.
Tapi untuk dirinya sendiri?
Saya baru bilang bahwa di Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Tetapi rupanya di PP No. 6 Tahun 2005 itu ada juga ketentuan mengenai kepala daerah yang berkampanye untuk calon kepala daerah lainnya, itu juga diharuskan mengambil cuti. Jadi sebenarnya memang aturan mengenai kepala daerah yang berkampanye baik dia menjadi calon atau tidak memang sudah diatur dalam instrumen aturan, agar ketika mereka berkampanye harus cuti.
Alasannya jelas, bahwa di dalam pemilukada ini dilarang menggunakan fasilitas jabatan termasuk juga penggunaan dana APBD dan APBN. Jadi kalau mereka cuti untuk kampanye, berarti mereka pada waktu itu tidak sedang menjabat gubernur. Karena dia tidak menjabat sebagai gubernur pada saat cuti, maka yang bersangkutan tidak berhak menggunakan segala fasilitas yang dimilikinya yang melekat padanya sebagai kepala daerah. Kalau mereka tidak cuti, maka sesungguhnya kepala daerah itu 24 jam. Jadi walaupun hari Sabtu dan hari Minggu itu tidak berarti kemudian dia tidak kepala daerah, itu jabatan yang melekat sepanjang hari selama yang bersangkutan belum habis masa jabatannya.
Kalau menteri atau presiden di luar hari libur tapi dia mengurusi partai, tentu dia juga menggunakan fasilitas negara. Itu harus cuti atau tidak?
Itu hal yang lain. Jadi kita bicara mengenai suatu kondisi, mengenai pemilukada yang aturannya ketat. Karena ini kontes mengenai suatu yang fair, sehingga diatur secara ketat karena melibatkan pertarungan untuk merebut jabatan. Tetapi kalau mengurusi partai dan sebagainya itu soal lain, walaupun saya sendiri juga berpendapat mestinya ada aturan yang melarang pejabat publik dalam level tertentu untuk menjabat sebagai pengurus partai politik. Tetapi itu soal yang memang harus dibuat kemudian, karena saat ini memang tidak ada larangan. Bahkan pengurus-pengurus partai politik itu adalah mereka yang memang menduduki jabatan politik tertentu, kalau tidak menduduki politik tertentu partainya tidak mau memilih lagi.
Jadi yang diatur ini dalam konteks pilkada?
Iya dalam konteks pemilu dan pemilukada.
Pada Pasal 61 ayat 1 dalam kampanye pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan hakim, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural dan fungsional, kepala desa. Di ayat 2 larangan itu tidak berlaku apabila pejabat itu menjadi calon kepala daerah, kemudian pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dilarang membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan. Sebagaimana pada ayat 3 yang menjadi calon kepala daerah harus menjalankan cuti. Cuti untuk berkampanye bagi yang lain saya belum menemukan, ini pasal berapa?
Mungkin saya agak salah tapi sepanjang yang saya tahu diatur dalam salah satu aturan tersebut. Tetapi memang di dalam kalau kita bicara instrumen pilkada ada tiga, pertama instrumen Undang-undang, kedua instrumen Peraturan Pemerintah, ketiga adalah instrumen Peraturan KPU. Kemungkinan besar di instrumen Peraturan KPU termasuk waktu pengajuan dua minggu dan sebagainya, apakah sah instrumen Peraturan KPU itu sah. Karena memang Peraturan KPU itu melaksanakan Undang-undang No. 32 bahkan menurut saya, setelah pilkada ini masuk pemilu PP itu tidak dibutuhkan lagi. Karena itu menurut saya sah dalam pengertian aturan itu ada, tetapi kalaupun tidak ada itu sebenarnya kelaziman yang masuk akal. Artinya kalau kita bicara tentang pilkada yang Luber dan Jurdil, memang tidak boleh menggunakan fasilitas jabatan untuk berkampanye. Kenapa kemudian harus cuti, karena yang namanya fasilitas jabatan itu melekat pada seorang kepala daerah, kepala negara itu selama 24 jam. Tetapi ketika dia mau berkampanye, dia sebenarnya sedang melepas jabatannya untuk sementara sebagai kepala daerah. Pada waktu cuti tersebut dia tidak boleh kemudian membuat keputusan-keputusan penting sesungguhnya. Tetapi di kita terkadang hal-hal seperti itu tipis sekali bedanya, apakah ketika kampanye seorang kepala daerah berkoordinasi dengan wakilnya yang kemudian akting sementara sebagai kepala daerah untuk posisi atau keputusan tertentu, saya kira masih melakukan itu. Tetapi menurut hukum itu seharusnya tidak boleh.
Kalau misalnya pejabat negara seperti menteri, presiden dan sebagainya melakukan kegiatan diluar tugasnya ini perlu juga diatur?
Kalau dia menduduki jabatan politik tertentu, seharusnya dia tidak boleh atau dilarang menduduki jabatan atau posisi di ranah tertentu. Sebagai contoh, misalnya dia menjadi presiden atau menteri menurut saya jabatan itu adalah jabatan yang sangat sibuk dan tidak boleh kemudian dicampur aduk jabatan di partai politik. Karena akan mengganggu ritme kerja dan juga akan terjadi conflict of interest. Tapi ada juga jabatan yang memang dilarang sama sekali untuk kemudian terlibat di ranah publik, contoh Ketua MK saat ini Mahfud MD misalnya itu baru terpilih sebagai Ketua Presidium KAHMI. Menurut saya kalau kita bicara etika hakim, apalagi hakim di seluruh dunia itu tidak boleh menduduki jabatan-jabatan seperti itu. Tetapi di Indonesia ini hal-hal yang aneh seperti presiden mengurusi partai, Ketua MK mengurusi organisasi itu hal-hal yang biasa, padahal etika bernegara harus dijaga. Memang ada wilayah-wilayah misalnya itu tergantung orangnya, tetapi kalau kita bicara yang namanya jabatan publik itu tidak boleh diserahkan pada orangnya saja tapi diserahkan pada aturan main yang memang disepakati oleh publik.
Jadi sampai sekarang tidak ada aturan cuti-cuti semacam itu untuk penyelenggara negara ya?
Cuti itu kalau kegiatannya sifatnya temporer. Kalau kegiatan yang rutin, menjadi ketua umum partai itu rutin, menjadi Ketua Presidium KAHMI itu rutin.
Kekhawatiran menggunakan fasilitas negaranya bagaimana?
Akhirnya dikembalikan pada etika publik pejabat yang bersangkutan. Saya pernah diundang oleh seorang menteri beberapa tahun yang lalu, kebetulan menjabat sebagai ketua umum partai, undangannya adalah kementerian tersebut untuk sosialisasi Undang-undang Pemilu di ibukota provinsi. Ketika kita datang pagi hari, menteri yang bersangkutan itu sudah dijemput oleh pengurus partai politik, lalu mereka pergi, kemudian baru jam 8 malam acara itu berlangsung, padahal kita datang dari pagi hari. Selama seharian itu partai politik menggunakan fasilitas negara, sementara acara utamanya kemudian menjadi acara sampingan, padahal dibiayai oleh negara. Saya yakin banyak sekali pejabat-pejabat publik yang melakukan itu, bahkan membuat program kementeriannya sengaja dikaitkan dengan upaya untuk sosialisasi atau penggalangan selama proses pemilu. Misalnya dengan membuat program keliling daerah dan sebagainya, ini jamak terjadi.
Kalau begitu sanksi yang dikenakan kepada kepala daerah yang melanggar aturan ini apa?
Kita harus membedakan mengatur partai politik dengan pemilu dan pemilukada. Karena pemilu dan pemilukada itu memang moment yang spesial, itu adalah sebuah ranah yang harus fair karena itu harus ada special treatment karena ini kontestasi politik, tidak bisa diperbandingkan. Makanya kemudian jauh lebih baik kalau etika itu diangkat ke dalam norma peraturan perundangan, misalnya larangan rangkap jabatan. Yang aneh bin ajaib menurut saya adalah ketika menjadi calon anggota legislatif saja orang sudah diharuskan mundur dari pejabat BUMN atau lainnya, ini sudah terpilih jadi menteri atau
presiden kok masih rangkap jabatan walaupun bukan rangkap jabatan publik.
Kalau terkait sanksinya seperti apa?
Sanksi itu baru terkait dengan pemilu dan pemilukada. Sanksinya sebenarnya bukan kepada kepala daerah yang bersangkutan, kalau kepala daerah yang bersangkutan sangat mungkin ada sanksi administratif, itu internal Kementerian Dalam Negeri sebagai bagian hirarki pemerintahan itu biasa. Artinya kalaupun tidak diatur di Undang-undang yang namanya satu kesatuan sistem pemerintahan, bisa saja seorang menteri menegur gubernur, gubernur menegur bupati/walikota, tetapi tidak bisa memberhentikan. Tapi kalau sanksi yang terkait dengan pemilu yaitu penghentian kampanye atau pelarangan kampanye baik secara keseluruhan selama sisa kampanye atau untuk waktu tertentu.
Tugas Kepala Daerah 24 Jam, Jadi Jokowi Tetap Perlu Ajukan Cuti
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengaku telah minta izin untuk mendukung kampanye pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki dalam pemilhan gubernur Jawa Barat, hari Minggu lalu.

BERITA
Rabu, 20 Feb 2013 14:21 WIB


jokowi, cuti kampanye
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai