KBR68H - Semua orang bermimpi bisa mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tapi mimpi itu seolah sulit tercapai. Apalagi bagi masyarakat yang kurang mampu dan berada di ujung Indonesia. Pemerintah tak mau begitu. Upaya mewujudkan mimpi masyarakat untuk bisa belajar di bangku kuliah diterus diupayakan dan dijamin. Karena itu lah UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi hadir.
UU Pendidikan Tinggi lahir untuk memastikan akses masyarakat Indonesia ke Perguruan Tinggi menjadi terjamin. Termasuk mutu dan semangatnya untuk melaksanakan penyelenggaran pendidikan tinggi yang tak diskriminatif.
”Tidak ada orang miskin dan pintar yang tidak bisa kuliah. UU ini memberikan jaminan,” ujar Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan & Kebudayaan,Nizam.
Namun bukan berarti UU ini bisa diterima begitu saja. Misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Andalas yang mengajukan uji materi UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi ke Makamah Konstitusi. Mereka menilai keberadaan UU tersebut membebani mahasiswa yang kurang mampu untuk merasakan bangku perkuliahan. Selain itu undang-undang ini dinilai memberi ruang pada liberalisasi pendidikan karena perguruan tinggi jadi "jor-joran” dalam mencari sumber pendanaan tanpa melihat kemampuan mahasiswanya.
Media Massa sebagai salah satu pilar demokrasi mempunyai peran untuk mengawasi hal tersebut. Caranya dengan peliputan dan pemuatan berita di medianya. Melalui cara ini masyarakat bisa teredukasi. ”Ya, pers sebagai pilar demokrasi. Ketika undang-undang ini masih tahap pembahasan, tugas kita juga mengawal pembahasan itu. Jangan sampai apa yang dikhawatirkan banyak kalangan terwujud,” tutur Marsel Rombebaan Redaktur Pendidikan Suara Pembaruan.
Pandangan Media
Undang-undang Pendidikan Tinggi memiliki semangat yang luar biasa. Ada pasal yang boleh dibilang ramah sosial. “Di dalam UU itu ada pasal yang menyebutkan siswa atau calon siswa dari keluarga yang kurang mampu berkesempatan mengemban pendidikan ke PTN, pasal 74,” sebut Marsel. Namun untuk mencapai kata ideal dalam penyelenggaran pendidikan tinggi perlu ada kompromi lebih jauh.
Kompromi dengan berbagai kalangan. “Pemerintah atau negara tak punya cukup uang untuk membiayai pendidikan tinggi. Misalnya untuk pendidikan wajib 12 tahun saja masih keteteran ya,” timpal Ary Hermawan Asisten Redaktur Nasional Jakarta Post. Bentuk kompromi bisa beragam. Misalnya mendorong pemerintah daerah atau sektor swasta turut menyumbang anggarannya demi pelaksanaan pendidikan tinggi. “Pakai dana CSR atau dana-dana daerah,” ujar Ary Hermawan.
Marsel mencontohkan, sebuah daerah di Sulawesi Selatan berhasil memberikan pendidikan gratis bagi warganya. Pendidikan gratis mulai dari tingkat SD-SMA.
“Dari kebijakan kabupaten lalu diterapkan juga di provinsi, manajemen anggaran di daerahnya, anggaran daerah yang tidak efektif digeser untuk pendidikan tinggi. Sebelumnya tidak ada yang seperti ini. Pemerintah pusat harus mau belajar sama pemerintah daerah. Lagi-lagi di sini peran pemimpinnya yang jadi ujung tombak,” tutur Marsel Rombebaan panjang lebar.
Ada tiga hal penting dalam penyelenggaran pendidikan tinggi bila melongok undang-undang Pendidikan Tinggi; ketersediaan, keterjangkauan dan kepastian.
”Tiga hal ini jaminan dan kepastiannya” ucap Nizam. Ketersediaan artinya pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan tinggi di setiap provinsi/kabupaten/kota, termasuk dengan melibatkan pemerintah daerah. Kualitas dan mutunya pun disesuaikan dengan kebutuhan nasional. Sementara keterjangkauan dan kepastian artinya ada standar untuk setiap pungutan kepada mahasiswa. Tentunya pungutan tersebut tak boleh membebani orangtua siswa.
”Kalau yang tidak mampu, ada beasiswa,kalau negara tidak bisa menyediakan beasiswa ya kredit tanpa bunga,” tutur Nizam.
Sama-Sama Mengawasi
Di Indonesia banyak aturan dan kebijakan yang bagus. Termasuk dalam hal ini undang-undangnya. Namun lagi-lagi praktiknya tak sebagus kebijakan atau peraturannya. Media massa yang memiliki fungsi kontrol sosial dan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Termasuk menyoroti dan mengawasi pelaksanaan UU Pendidikan Tinggi. “Kita akan soroti, Apakah UU ini benar-benar bagus atau ajang cari uang belaka. Okelah kampus bagus mencari uang. Untuk menambah fasilitas kegiatan belajar-mengajar. Tapi bukan untuk memperkaya dosen atau lainnya,” tutur Ary Hermawan.
Menurut Marsel, ada sejumlah pasal yang harus dipertegas dengan peraturan pemerintah atau peraturan setingkat menteri. “Pasal 73 ayat 5, ada diatur penerimaan mahasiwa baru perguruan tinggi seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersil.
Dalam pelaksanaan nanti baik melalui PP dan Permen harus diatur dengan jelas, harus ada batasan. Yang bisa menjelaskan tujuan komersil itu apa. Kalau di jakarta misalnya di UI, batasan 100 juta tak disebut komersil, tapi di kampus lain 5 juta bisa disebut komersil.
"Pembiayaan juga harus bisa disesuaikan dengan daerah masing-masing. Ada batas maksimal dan minimal yang memungkinkan untuk pembiaya bagi keluraga miskin,” tutur Marsel Rombebaan.
Tak berhenti di sana saja, di pasal 74 UU Pendidikan Tinggi harus pula di kawal dalam PP atau Permen. Ini supaya memang betul setiap Perguruan Tinggi Negeri melaksanakan Kewajiban menerima kuota 20% siswa miskin untuk setiap tahapan penerimaannya.
“Dalam PP itu misalnya disebutkan ada kewajiban atau mekanisme pelaporan. Bagian dari pelaporan akuntabilitas perguruan tinggi,” ujar Marsel.
Lagi-lagi transparansi di sini penting. Baik untuk pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi sampai ke penggunaan anggarannya. Termasuk peraturan turunannya.
“Ya kita memang bisa akses ke web DIKTI. Tapi bagaimana yang tak bisa. Sosialisasi harus benar-benar gencar, buat masyarakat kalau ada kejanggalan laporkan saja ke media atau civil society,” tambah Ary Hermawan.
Sementara itu, menurut Nizam, semua PP dan Permen sedang disiapkan. Beberapa sudah selesai dan sudah masuk harmonisasi antar kementerian. Beberapa PP malahan sudah bisa dijalankan saat ini. Contohnya Bidik Misi. Targetnya semua PP dan Permen akan selesai tahun ini.
“Saya mohon kepada masyarakat untuk mengawal undang-undang ini yang pro rakyat miskin. Jangan sampai dibunuh dengan sendirinya,” tutup Nizam.
Perbincangan ini hasil kerjasama KBR68H dengan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI.
Pelaksanaan UU Pendidikan Tinggi Harus Diawasi!
Semua orang bermimpi bisa mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tapi mimpi itu seolah sulit tercapai. Apalagi bagi masyarakat yang kurang mampu dan berada di ujung Indonesia. Pemerintah tak mau begitu. Upaya mewujudkan mimpi masyarakat untu

BERITA
Rabu, 20 Feb 2013 12:13 WIB


UU Pendidikan Tinggi, UU No 12 Tahun 2012
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai