Bagikan:

Menjaga Ekosistem Melalui Kelompok Kerja Nasional

Pemerintah mengklaim sadar telah terjadi kerusakan parah pada hutan mangrove di Indonesia.

BERITA

Kamis, 07 Feb 2013 13:38 WIB

Author

Rony Rahmata

Menjaga Ekosistem Melalui Kelompok Kerja Nasional

mangrove, kelompok kerja

Pemerintah mengklaim sadar telah terjadi kerusakan parah pada hutan mangrove di Indonesia. Catatan kementerian lingkungan hidup menyatakan kerusakan ini dipicu maraknya tambak udang sejak 1980-an.  Sekarang hutan itu juga sudah  mulai dikonversi menjadi perkebunan sawit, semisal di Sumatera dan Kalimantan. Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut Nursiwan Tagim mengatakan, upaya menjaga kelestarian hutan mangrove ini tengah giat dilakukan pemerintah melalui Kelompok Kerja Nasional Mangrove.
Nursiwan menambahkan Kelompok Kerja  ini dibentuk mulai tingkat pusat hingga daerah. Merekapun akan mengevaluasi tiap bulan tentang upaya menyelamatkan hutan mangrove.

“Kelompok ini dibentuk di tingkat pusat hingga daerah. Ketuanya pun bergilir dari satu kementerian ke kementerian lain. Tahun ini ketuanya kementerian dalam negeri, nah selanjutnya bakal timbang terima dengan kementerian lingkungan hidup. Setiap bulanpun ada evaluasi dari kinerja kelompok ini”, ujar Nursiwan.

Kesimpulan sementara dari kelompok kerja ini, penanganan kerusakan mangrove terletak pada kebijakan otonomi daerah. Kata dia, sejak bergulirnya otonomi daerah pemerintah pusat sulit masuk dalam mempengaruhi kebijakan daerah. Seperti pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam, hingga upaya pemeliharaan hutan lindung.
 
“Kita misalanya sudah sepakat salah satu daerah menjadi konservasi, tapi tiba-tiba di lapangan tidak di setujui pemerintah daerah. Nah di situlah benturannya dengan otonomi daerah”, kata dia.

Solusi menjembatani persoalan itu kini tengah digodok di tingkat pusat. Pemerintah bakal siapkan Peraturan Pemerintah tentang menjaga ekosistem lingkungan, mangrove salah satunya. Nantinya melalui peraturan itu juga dicantumkan tentang batasan kawasan konservasi.

Langkah pemerintah ini tidak serta merta mendapat apresiasi sejumlah kalangan pemerhati lingkungan hidup, LSM Kiara salah satunya. Sekjen KIARA Abdul Halim menegaskan, upaya menjaga kelestarian hutan mangrove Indonesia yang tersisa 3.8 juta hektar tidak mungkin sukses. Pasalnya, masih adanya tumpang tindih peraturan di Indonesia. KIARA menjelaskan, sedikitnya ada empat aturan kebijakan yang tumpang tindih, baik sesama peraturan di tingkat pusat maupun terusannya di tingkat daerah.

Abdul Halim mencontohkan, undang-undang 27 tahun 2007, yang memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah yang bertabrakan dengan tiga undang-undang lainnya.

“Di tingkat nasional sudah ada kebijakan, tapi ini terdapat tumpang tindih. Ini problem koordinasi yang masih terbilang sangat penting diatasi. Dalam undang-undang 41 tahun 1999, kemenhut punya kewenangan pengelolaan mangrove, kementerian kelautan juga punya madat yang sama di undang-undang no. 27 tahun 2007. Di kementerian LH juga ada kebijakan sendiri, mangrove jadi indicator terjadinya kerusakan lingkungan. Keempat, UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Nah ini bertabarakan, dan pemborosan”, ujar Abdul Halim.

KIARA lebih setuju pengelolaan mangrove diserahkan pada satu instansi pemerintahan, tujuannya agar lebih tegas dan tidak boros anggaran.
 
“Kewenangan pemerintah daerah harus dibatasi. Karena ada kasus, kepala daerah di Kalimantan barat merubah RTRW untuk membuka peluang investor membabat hutan mangrove,” kata Abdul Halim.

Akibat leluasanya pemerintah daerah mengambil kebijakan sendiri,  KIARA menemukan kondisi yang memperihatinkan yang justru terancam berujuang pada kekerasan.

“Di langkat sumatera selatan, ada hutan mangrove dikonfirmasi jadi lahan sawit. Tapi sayangnya dukungan penuh pemerintah pusat dan daerah belum maksimal. Ini mengancam tumpah darah di sana. Perlu kelompok kerja harus berhenti bicarakan kewenangan tapi penegakan hukumnya” kata Abdul.

"Kondisi serupa juga ditemukan di Kalimantan.Baru-baru ini di Kubu Raya Kalimantan Barat , itu kepala daerah diamini dinas kehutanan setempat itu ingin merevisi RTRW untuk menfasilitasi investor Korea Selatan untuk membabat hutan mangrove, luasnya mencapai 7000 hektare” kata Abdul Halim.

Tambah Halim, Pemerintah pusat seharusnya ingatkan pemerintah daerah untuk tidak melakukan pengrusakan. Ini merupakan tanggungjawab Kementerian Kehutanan.  Ini juga fungsi dari Kemendagri, karena undang-undang yang dikeluarkan pemerintah pusat harus diselaraskan oleh Kemendagri.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending