Salah satu yang paling disyukuri oleh perempuan Indonesia adalah terbukanya ruang pendidikan bagi perempuan. Terutama bila kita bandingkan dengan pengalaman Malala Yousafzai, anak Pakistan yang harus berjuang keras hingga nyawanya terancam untuk memperjuangkan supaya perempuan bisa bersekolah Namun bukan berarti di Indonesia tak ada masalah sama sekali.
Ketidaksetaraan gender masih kita ditemui di ruang publik; ada bias gender yang lebih mendukung peran laki-laki dalam representasi dan akses laki-laki dan perempuan terhadap kegiatan dalam ruang publik. Ada sektor-sektor yang didominasi oleh laki-laki yang bisa mengakibatkan keluarnya kebijakan dan pelayanan yang bias gender. Misal kita menemui ada aturan larangan keluar malam bagi perempuan di wilayah tertentu.
Sebaliknya, ada sektor-sektor yang terjadi feminisasi tenaga kerja sehingga sering kali menyebabkan ekspoitasi kepada perempuan. Segala hal semacam ini juga terjadi dalam ruang pendidikan dan yang terkait dengannya.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2011 lalu mencapai 119 ribu kasus. 95 persen diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Komisioner Komnas Perempuan, Yustina Rostiawati mengatakan kekerasan yang kerap kali terjadi adalah kekerasan di ruang publik. Diantaranya, pengabaian perempuan dalam kebijakan pemerintah.
Dia menambahkan kekerasan ruang publik pun tanpa disadari sering terjadi di rumah tangga.
” Misalkan saja istri bekerja, lalu harus ada pekerjaan di dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan karir perempuan seringkali terjegal.” Ujar Yustina Rostiawati.
Menurut Dosen Prodi Psikolog Universitas Paramadina Factchiah E. Kertamuda mengatakan banyak faktor-faktor yang menghambat kemajuan perempuan. Salah satunya adalah peran pasangan perempuan jika sudah berumah tangga. Padahal perempuan mendukung salah satu sektor dari berumah tangga.
” Seharusnya pasangan saling berdiskusi dan laki-laki pun harus lebih bijaksana. Anak pun bisa ikut berkomunikasi. Jadi keluarga saling mendukung.” Ujar Facthiah.
Menanggapi hal ini, Komisioner Komnas HAM Yustina mengatakan permasalahan ini bisa dikurangi dengan cara pendidikan demokrasi sejak dini. Dari hal itu, masing-masing individu bisa saling berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah. Pasalnya, selama ini perempuan seringkali tidak berani untuk mengeluarkan pendapatnya.
Untuk memberi pendidikan mengenai kekerasan terhadap perempuan di ruang publik. Universitas Paramadina membuat program mengenai masalah tersebut. Hal ini meneruskan data Bappenas yang menyatakan jumlah perempuan di lembaga pendidikan lebih banyak dari laki-laki. Sementara setelah lulus faktanya dalam dunia kerja, lebih banyak jumlah laki-laki daripada jumlah perempuan. Ujar Manajer Kerjasama Universitas Paramadina Aida Fitri.
Hal ini juga untuk memetakan masalah-masalah apa saja yang menyebabkan terhambatnya karir perempuan-perempuan di daerah. Sudah 6 kota yang menjadi tujuan seminar Universitas Paramadina. Diantaranya, adalah Bandung, Makasar dan Medan.
Dari 6 kota tersebut juga, muncul beberapa kasus kekerasan perempuan di ruang publik dalam rumah tangga. Diantaranya, perempuan dilarang keluar rumah dll. Kata dia, diharapkan dengan adanya program ini ada perubahan.
Ada 6 kota lagi yang akan menjadi tujuan seminar diantaranya Malang, Jawa Timur pada tanggal 11 Februari nanti.
KDRT Muncul Karena Perempuan Tidak Berani Mengeluarkan Pendapat
Salah satu yang paling disyukuri oleh perempuan Indonesia adalah terbukanya ruang pendidikan bagi perempuan.

BERITA
Jumat, 08 Feb 2013 13:13 WIB


KDRT, perempuan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai