KBR68H, Jakarta - Harga daging Indonesia, menurut Kementerian Perdagangan, adalah yang termahal di dunia. Harga daging Indonesia lebih mahal dari Singapura dan Malaysia. Harga daging sapi lokal saat ini Rp95 ribu per kilogram di tingkat konsumen. Padahal di tingkat peternak harganya sekitar Rp30 ribuan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Simak perbincangan KBR68H dengan pengamat ekonomi dari INDEF Bustanul Arifin dalam program Sarapan Pagi KBR68H
Soal sapi yang dapat warning dari Wakil Menteri Perdagangan kalau tetap dibiarkan harganya sekarang bakal mencapai sekitar Rp 120 ribu saat lebaran nanti. Anda mengidentifikasi masalahnya ada dimana?
Semuanya dari hulu, pembibitan, peternakan, penggemukan sampai kepada manajemen perdagangan dan impor, semuanya ada titik-titik simpul masalah. Kalau hanya diidentifikasi satu masalah harga tidak fair juga, karena harga adalah produk dari sekian macam fenomena. Memang akhirnya harga yang akan menentukan tingkah laku supply dan demand, tapi harga ditentukan oleh supply dan demand. Kalau Wamen meributkan harga yang makin tinggi tidak salah juga beliau, karena ada struktur pasar yang amat tipis sehingga persaingan tidak terlalu sehat.
Tidak sehat ini apa sebabnya?
Logika yang telah diketahui umum sebetulnya, pemerintah berencana mencapai swasembada 2015. Jadi pada 2014 itu ditargetkan pengurangan impor, definisi swasembada yang dipakaipun sebetulnya definisi klasik bahwa kalau masih ada impor sepanjang itu tidak lebih dari 10 persen itu dianggap swasembada, saya tidak tahu juga kenapa menggunakan patokan itu. Dengan kata lain target impor tiap tahun makin dikurangi, karena banyak importir yang menggantungkan hidupnya baik memenuhi restoran besar di hotel maupun pedagang bakso sampai kelas tetelan, mereka tentu saja makin tipis kuota impor yang dilakukan. Jadi karena dia makin menurun, kemudian sudah pasti segala macam upaya karena mereka harus tetap eksis sebagai badan usaha itu juga berupaya untuk menjaga pasokannya sendiri. Mereka terus bersaing baru harus melakukan perizinan, perizinan ini ada tiga lembaga yang berwenang, kuota impor besar kemudian rekomendasi diberikan oleh Kementerian Pertanian, surat izin diberikan oleh Kementerian Perdagangan. Karena ada yang melihat bahwa keuntungan di impor cukup besar, jumlah importir makin besar. Mungkin ada beberapa hal yang mereka bicarakan untuk menentukan kuota, diskusi di media akhirnya terfokus pada satu sisi berapa jatah impor, itu yang muncul ke publik. Akhirnya karena fokus kesitu orang melupakan, di hulu ada persoalan besar bahwa proses penggemukan, usaha peternak, kemudian ada upaya BUMN untuk melakukan interaksi antara peternakan dan pertanian dengan memanfaatkan limbah sebagai pakan dan seterusnya. Proses produksi juga seharusnya logika kita dia ikut terdorong, ikut semangat karena harganya tinggi.
Apakah ini juga disebabkan “permainan” para pengimpor?
Saya tidak tahu apakah importir sampai seperti itu terus terang saya tidak punya bukti di lapangan. Saya lebih peduli bagaimana peternak kita ini mampu menghasilkan keuntungan yang layak, dari fenomena harga sapi yang sangat mahal itu, mereka menimbang per kilogram Rp 35 ribu sapi hidup, tergantung kualitas sapinya. Kalau sapi lokal kira-kira 45 persen daging, kalau sapi impor bisa 52-57 persen. Akhirnya mereka lebih banyak tertarik ambil sapi impor. Saya katakan pembibitan, pembiakan di dalam negeri tidak mampu memenuhi jumlah permintaan yang besar.
Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Rochadi Tawaf juga mengeluhkan untuk mengirim sapi ke daerah-daerah itu masih susah dengan banyaknya pungli dan lainnya, itu jadi masalah juga menurut anda?
Setuju. Disitu juga bermasalah, selama ini sentra produksi untuk sapi-sapi kelas peternak lebih banyak di Jawa karena memang konsumsinya banyak di Jawa juga. Kemudian ketika Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta juga berteriak kita butuh sapi itu tidak semudah dipasok. Itu yang sekaligus ikut mengerek harga di tingkat konsumen, walaupun kita harus paham kualitas daging beda-beda dalam konteks kalau kelas 1 sekitar Rp 100 ribu, tapi kalau kelas tetelan mungkin Rp 60 ribu dapat. Data yang tersedia itu tidak merinci mengenai kualitas daging atau klasifikasi daging, padahal kelas 1 itu sedikit paling yang mengkonsumsi orang-orang kaya dan sebagian besar kita kelas menengah ke bawah.
Kalau mau memperbaiki, apa yang harus disentuh pemerintah terlebih dahulu?
Yang jelas tidak boleh bermimpi tahun depan selesai. Kalau fokus di awal itu bagaimana dimulai dari KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi) kasih sajalah petani, itu pakai uang APBN tidak apa-apa. Kemudian karena mereka pakai kelompok, supaya mereka bergairah memelihara sapi. Tapi ada upaya mewujudkan bahwa negara yang dituduh selama hilang itu sudah mulai ada perhatian. pembibitan. Sekali lagi masalahnya di pembibitan, mana mungkin kita mengandalkan sapi impor terus padahal selama ini ada beberapa kelas sapi lokal yang tangguh juga. Kalau pembiakan dilakukan saya optimis walaupun tidak jangka pendek, baru di hilir yang perlu kita benahi di kualitas, rumah potong yang juga sebetulnya ada inefisiensi. Yang merupakan tugas pemerintah silahkan selesaikan, baru pembenahan kuota impor, transparansi segala macam itu umumkan saja sehingga ada awareness dari publik. Hulu hilir ini kalau dilakukan secara serentak atau terpadu saya masih bisa berharap walaupun bukan tahun depan selesai, tapi kalau saya tanya ke teman-teman ahli peternakan kecil kalau mencapai swasembada itu.
Harga Daging Sapi Mahal Karena Pembibitan Masih Bermasalah
KBR68H, Jakarta - Harga daging Indonesia, menurut Kementerian Perdagangan, adalah yang termahal di dunia.

BERITA
Selasa, 05 Feb 2013 12:36 WIB


daging sapi, mahal
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai