Beberapa hari lalu bayi Upik bin Ali Zuar meninggal karena terlambat mendapatkan pelayanan medis. Orangtua Upik Ali Zuar mengatakan, bayinya tak mendapatkan layanan inkubator usai lahir. Padahal bayinya lahir di usia enam bulan kehamilan. Protes Ali justru berimbas agar dirinya keluar dari ruang persalinan. Ali kaget setelah kembali ke ruang persalinan dan mendapati bayinya telah terbungkus kain kafan lengkap denga surat kematian dari RS Bersalin Kartini di Jakarta Selatan.
Belum hilang kaget dari RS Bersalin, di rumahnya keluarga kembali terkejut saat membuka kafan bayi Upik yang masih bernafas. Keluarga pun kembali ke RS untuk memberitahukan kondisi Upik. Tapi, pihak RSBersalin Kartini lambat merespon keluhan orangtua Upik. Dan Upik pun meninggal.
Serupa Upik, Zara Naven, bayi berusia 3 bulan dengan kelainan jantung ini meninggal di RS Harapan Kita. RS diduga lamban menangani bayi Zara asal Depok ini lantaran kurangnya biaya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Seperti biasa, tudingan itu dibantah Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Kementerian Kesehatan sendiri mengklaim sudah jauh memikirkan bagaimana implemantasi UU tentang rumah sakit. Salah satunya mengenai hak pasien, di antaranya, memperoleh layanan yang manusiawi, adil dan tanpa diskriminasi.
Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, selain dalam UU tentang kesehatan, pasal 1 dan 2, diterangkan jelas, bahwa dalam keadaaan darurat, pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan, bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecatatan terlebih dahulu. Sementara dalam pasal dua, disebutkan dalam keadaan darurat, baik fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta, di larang menolak pasien dan meminta uang muka.
Namun, menurut Ali Ghufron, dalam pelaksanaannya banyak factor yang mempengaruhi tidak teraplikasinya isi UU tersebut. Seperti kasus kurangnya fasilitas kesehatan rumah sakit ” Karena memang banyak factor, bisa dari pemda, rumah sakit sendiri dan pasien.”kata Ali.
Ali menyatakan, yang terpenting yang bakal dilakukan kemenkes adalah penegakan bagaimana pelayanan dan pelaksanaan sesuai UU. Sementara soal sanki, menjadi hal kedua. Ini lantaran, kewenangan sanki berada diotoritas lembaga lain.
Kebjikan UU Rumah Sakit dan UU Kesehatan Tumpul
Aktivis LSM Mayarakat Miskin Kota, Edi Saidi menilai apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan amanat UU rumah sakit dan kesehatan. Pasalnya, aplikasi kedua UU tersebut masih tumpul, baik dari segi pelaksanaannya dan pelanggaran hukum dari UU tersebut. Edi menambahkan, beberapa kasus seperti kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga pasien di tolak, merupakan satu dari pelayanan kesehatan yang buruk. Ini artinya kata Edi, pasien tak tertangani dan tak tertampung oleh rumah sakit.
Kasus seperti kartu Jakarta Sehat misalnya. Banyak masyarakat menyambut baik adanya kartu jaminan tersebut. Namun, pemerintah pun tak mengimbangi dengan layanan kesehatan yang diberikan pada warga miskin, termasuk di antaranya pelayanan tenaga medis dan fasilitas rumah sakit. Saat ini memang kata Edi, penggantian biaya rumah sakit untuk orang miskin, sudah ditanggung pemerintah, di rumah sakit milik pemerintah sendiri, maupun beberapa rumah sakit swasta yang menjadi rujukan.
Seringkali pelayanan masyarakat kelas tiga tak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebagaimana mestinya, meskipun ditanggung pemerintah. Bahkan kata Edi, prosedur rawat inap bagi pasien kelas tiga sering berbelit-belit.
Pengalaman Asep di Garut, Jawa Barat, lebih memprihatinkan. Asep merasa ditelantarkan, pasalnya selama empat hari, istrinya yang sudah melahirkan dibiarkan begitu saja. Resep mahal yang ditebus Asep untuk bayinya pun, ternyata tidak dipakai sama sekali. Asep sendiri merasa terganggu, dengan pelayanan rumah sakit di daerahnya yang dinilai buruk.
Negara harusnya menjamin pelayanan rumah sakit yang layak dan baik, dengan kualitas yang sama, baik masyarakat miskin, tengah maupun yang kaya. Edi menyarankan, jika rumah sakit menolak dengan alasan tidak ada kamar, masyarakat di minta memeriksa kembali kebenaran hal tersebut. Jika pun memang benar, ada baiknya masyarakat meminta kelas dua atau sesuai kebutuhan. Yang terpenting kata Edi, pasien mendapatkan perawatan terlebih dahulu. Soal biaya, tidak mampunya pasien bisa mengadukan hal tersebut ke pemerintah atau dinas kesehatan setempat.
“Publik harus tahu dengan kondisi pasien. Keluarga pasien juga perlu tahu haknya, termasuk hak dilayani dengan layak.” Kata Edi Saidi.
Diskriminasi Pelayanan Rumah Sakit
Beberapa hari lalu bayi Upik bin Ali Zuar meninggal karena terlambat mendapatkan pelayanan medis. Orangtua Upik Ali Zuar mengatakan, bayinya tak mendapatkan layanan inkubator usai lahir.
BERITA
Senin, 25 Feb 2013 14:06 WIB
rumah sakit
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai
