Bagikan:

Ekonomi Syariah Hanya Islamisasi dari Perekonomian Modern

KBR68H, Jakarta - Presiden SBY ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah terbesar di dunia.

BERITA

Kamis, 23 Jan 2014 08:43 WIB

Author

Sasmito

Ekonomi Syariah Hanya Islamisasi dari Perekonomian Modern

ekonomi, syariah, riba

KBR68H, Jakarta - Presiden SBY  ingin menjadikan  Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah terbesar di dunia. Menurut SBY, ekonomi syariah bisa membantu Indonesia mencegah penggelembungan ekonomi. Yakni mencegah kerentanan antara sistem keuangan dengan sektor riil. Serta membantu pengamanan sosial, serta memperkuat pembiayaan UMKM.

Namun menurut pakar ekonomi syariah, Zaim Saidi, ekonomi syariah sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Menurutnya, konsep ekonomi syariah hanyalah islamisasi dari perekonomian modern yang sudah ada.

“Kalau dalam Islam sebenarnya namanya Muamalah. Dimana secara riil adalah perdagangan. Allah itu menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Nah ekonomi hanyalah formula dalam sistem riba. Hanya memang di kalangan sekuler muslim pada tahun 1940-an ada semacam ilusi, kalau sistem itu diislamkan maka akan lebih baik. Tapi tidak keluar dari ribanya,”jelas Zaim Saidi dalam obrolan Agama dan Masyarakat KBR68H dan Tempo TV, Rabu (22/1).

Zaim menambahkan alasan pembenaran dari kalangan umat Islam untuk mengubah syariah biasanya karena perbedaan jaman pada masa nabi Muhammad dengan era sekarang. Sehingga syariah-syariah yang dianggap kurang tepat pada masa sekarang disesuaikan kembali dengan kebutuhan sekarang.

“Memang paradigma orang-orang itu mengatakan syariah Islam itu tidak sesuai dengan zaman. Maka yang mereka lakukan bukan kehidupan zaman ini yang disesuaikan dengan syariah.  Tapi syariahnya yang diubah-ubah disesuaikan dengan zaman ini. Yang diambil hanya prinsip-prinsipnya saja. Maka saya katakan bank syariah itu bertentangan dengan syariah dan haram,”jelas Zaim.

Zaim mencontohkan kalau di Islam dikenal dengan jual beli, sedangkan di Bank Syariah dikenal dengan pembiayaan jual beli. Perbedaan antara keduanya pun cukup kentara. Yang satunya mencari keuntungan, tetapi bank syariah mencari bunga atau riba.  Dengan demikian, Kata Zaim penyebutan bank syariah hanyalah konsep yang dipaksakan oleh perbankan modern menjadi syariah tapi tidak meninggalkan prinsip-prinsip riba bank modern.

Tanggapan juga datang dari Teolog Kristen, Martin Lukito Sinaga. Menurut Martin dalam sejarah gereja, pada awalnya Kristen juga menolak dengan sistem riba. Namun penolakan tersebut mengalami pergeseran sedikit demi sedikit. Hingga pada akhirnya penerimaan sistem riba tapi kemudian bergeser kepada pelarangan sistem lintah darat.

“Dalam sejarah abad gereja sampai abad 15, gereja menolak ribah. Namun calvin di jeneva mengatakan kita tidak boleh terus menerus, karena bunga bank itu akan dikelola orang Yahudi. Biarkan orang Yahudi yang berdosa, tapi orang Kristen yang tidak terlibat tidak berdosa. Tapi sudahlah akhirnya diupayakan batas-batasnya saja asalkan tidak lintah darat,”jelas Martin Lukito Sinaga.

Martin menambahkan penerimaan sistem riba lebih karena didasari alasan penghargaan kepada usaha manusia untuk mendapatkan nilai yang lebih. Menurutnya yang terpenting adalah bagaimana perekonomian masyarakat yang kuat dapat menyokong perekonomian masyarakat yang lemah. Dengan demikian, ada proses subsidi silang dari yang berlebih kepada yang kekurangan.

Menurut Zaim Saidi untuk dapat melepaskan dari krisis ekonomi dunia yang terjadi yaitu dengan kembali kepada jual beli dan keluar dari belenggu riba. Ia mengatakan gagasan tersebut bukanlah hal yang mustahil. Ia bersama komunitasnya juga sudah memulai untuk penerapan praktek jual beli dengan menggunakan dinar.

“Sekarang ini kita sudah ada komunitas Jawara yaitu Jarinan Wirausaha dan Pengguna Dirham Nusantara. Kita jual beli dengan menggunakan uang perak dan emas. Jadi tidak ada penggelembunganj nilai seperti yang terjadi dalam uang kerta,”jelas Zaim.

Zaim juga menegaskan ekonomi yang berdasarkan jual beli dalam  sejarahnya sudah terbukti dapat berjalan selama 16 abad. Berbeda dengan ekonomi kapitalisme yang sudah mulai kolaps, padahal baru berlangsung 300 tahun.
Sementara itu Martin Lukito Sinaga memiliki solusi yang berbeda dengan Zaim. Menurutnya masyarakat tidak perlu menolak keras dengan adanya riba. Yang perlu dikedepankan sekarang yaitu prinsip subsidiaritas dan perelatifan hak milik.

“Prinsip subsidiaritas ini yang sedang kita lakukan. Bagimana kelompok yang mampu membantu kelompok yang kurang mampu. Selain itu, perelatifan hak milik kan problem ekonomi kapitalis adalah memutlakkan hak milik. Kalau kamu perlu kamu pakailah itu. Jadi hak-hak milik public diperbanyak. Misalnya di siwtzerland air minum tidak boleh dijual harus gratis. Jadi sewa rumah tidak ada air minum.

Martin mencontohkan wujud konkret gagasan subsidiaritas misalnya sudah dilakukan oleh kelompok gereja yang bernama Vokalare. Kelompok yang merupakan kumpulan dari pengusaha tersebut secara sukarela membagi hasil usahanya 40 % untuk orang miskin, 20 persen untuk karyawan dan 40 persen untuk usahanya sendiri.

Editor: Doddy Rosadi

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending