KBR68H, Jakarta - Tsunami Aceh adalah permulaan bagi perjalanan Susi Pudjiastuti mengarungi angkasa melalui PT ASI Pudjiastuti Aviation. Areal yang dipilih adalah jalur penerbangan perintis termasuk langit Papua yang keras. Jalur ini tak banyak disentuh penerbangan lain, dan inilah menjadi kekuatan bisnis Susi Pudjiastuti. Kita simak penjelasan Presiden Direktur perusahaan penerbangan Susi Air berikut ini kepada reporter KBR68H Arin Swandari
Anda saking sibuknya kabarnya empat jam saja tidur, sisa dua puluh jam lainnya untuk apa saja?
Sebetulnya tidak seperti itu. Memang dari dulu sibuk tidak sibuk juga saya memang tidur kurang lebih 4-5 jam saja dan itupun kadang-kadang dibagi dua, tidak bisa tidur lelap sampai 8 jam kecuali lelah sekali.
Apa yang membuat tidak bisa lelap?
Dua tiga jam lelap tidur cuma ya memang ritmenya dari muda seperti itu. Bukan karena banyak kerjaan atau tidak, walaupun libur juga sama jam 5 pagi bangun.
Anda memilih satu bisnis yang punya risiko sangat besar, penerbangan di wilayah-wilayah yang langitnya sangat “keras” seperti Papua. Pertimbangannya seperti apa?
Sebetulnya kalau dibilang saya memilih itu tidak 100 persen betul. Awalnya kita punya pesawat dua itu untuk angkut lobster kita supaya lebih banyak yang hidup daripada yang mati, itu saja. Kemudian Tsunami terjadi kita bantu Aceh dua minggu, setelah itu kita mau balik ke perikanan lagi tapi banyak yang perlu dan sewa pesawat kita. Dari situlah kita jadi kerja penyewaan pesawat, kemudian NGO 1,5 tahun sudah selesai. Kita pikir apakah kita mau pulang atau kita teruskan usaha airlines kita, ya sudah kita jualan tiket saja untuk Aceh. Susi Air dari mulai tanggal 27 Desember 2004 itu tidak pernah meninggalkan Medan untuk service wilayah Aceh, tahun 2007 kita baru service wilayah Sumatera Utara yaitu Padang Sidempuan dan Silangit. Dari situ kita merambah satu pesawat ke Papua tahun 2006, kemudian tahun 2007 Kalimantan dengan dua pesawat, Papua tambah satu pesawat sampai akhirnya sekarang total pesawat kita sudah 49. Penerbangan di Papua masih yang terbanyak dengan segala resikonya, kita juga sadar betul dan telah mengalami apa yang dibilang Papua itu sangat keras langitnya. Tahun 2011 kita ada kecelakaan dua, satu di Pasema yang satu di Bilogai. Tapi sebetulnya kalau dihitung dengan jumlah penerbangan kita dibanding operator keseluruhan tahun 2011 itu jam terbang kita 48 ribu jam terbang. Jadi kalau ditotal di operator lain tidak sebanyak kita. Kalau rate statistic safety itu dilihat dari angka jumlah jam terbang dan penerbangan kita jauh lebih baik sebetulnya. Cuma orang lihatnya Susi Air ada dua kecelakaan, padahal operator lain di tahun yang sama ada tujuh kecelakaan. Kalau ditotal jam terbangnya semua ini AOC 135 itu maskapai carter general aviation, kalau AOC 121 itu Lion, Garuda, Merpati.
Pada saat itu ada peringatan dari Kedubes AS bagaimana?
Sampai hari ini sebetulnya saya lihat ada travel warning. Itu yang saya anggap tidak fair karena mereka tidak melihat secara keseluruhan.
Berpengaruh?
Berpengaruh. Bahkan kita kehilangan bisnis kita yang dari mining itu hampir kurang lebih satu tahun hilang kontrak kita hampir USD 10 juta. Kalau kita operator lain juga ada dalam delapan bulan ada kecelakaan kok tidak ada banned. Padahal kalau ditotal jam terbang dan jumlah pesawat jauh lebih banyak kita.
Anda pernah mengkonfirmasi ke Kedubes AS?
Sudah kita coba juga ke Australia. Ya mereka anggap itu sikap mereka.
Tapi Anda juga akan mendapatkan pasar lain dan sudah mulai ada ya?
Kita akhirnya karena banyak pekerjaan perintis yang tidak dilaksanakan oleh operator yang menang tender ya kita dapat pelimpahan pekerjaan ya itulah kita kerjakan. Kalau dilihat setelah Susi Air terjun di perintis mungkin yang terbaik ya dari sejarah perintis itu ada di Indonesia.
Peristiwa itu merugikan perusahaan berapa banyak?
Hampir USD 10 juta kita kehilangan direct contract.
Bisnis Anda ini semacam spiral ya perjalanannya dari mulai Anda punya ikan kemudian berlipat ganda kemudian ketemu satu bisnis ini, Anda melihat ada peluang oke ini kedepannya akan besar. Bagaimana Anda memainkan feeling bahwa apa yang ada di hadapan itu bakal menjadi suatu bisnis yang besar?
Opportunity itu ada di sekitar kita tergantung kita mau memanfaatkan atau tidak. Saya orang easy going, orang yang selalu berpikiran terbuka kalau saya lihat opportunity and we can do, why not. Saya tidak punya spesifik bidang atau background, sekolah saya sampai SMA saja. Jadi lebih open untuk apa yang kira-kira bisa kita kerjakan, hitungan resikonya seperti apa, apakah saya mampu, kalau saya gagal ya untuk saya saya mulai dari yang paling nol. Kita lihat sambil jalan kalau oke ya lanjut, lalu buat business plan, kita lihat apakah visible untuk perbankan. Saya percaya Indonesia sangat luas, besar sekali dengan populasi yang sangat besar dan saya percaya semua tantangan adalah sebuah kesempatan, setiap kesulitan transportasi berarti ada kesempatan transportasi. Background saya perikanan, saya lihat dengan adanya pesawat ini akan membantu saya untuk ambil lobster dari tempat-tempat yang terpencil dengan murah, mudah, dan hidup.
Anda juga punya satu training center atau sekolah pilot ya?
Sekolah pilot bukan, kita sedang bangun training center tapi belum ada lisensi. Jadi untuk sekarang ya cuma training pilotnya Susi Air saja.
Kembali ke belakang, ketika Anda memulai perikanan zaman dulu mulai Rp 750 ribu sampai sekarang walaupun sempat terhempas Tsunami, bisa diceritakan?
Awal kita kerja perikanan dengan jumlah seadanya kadang-kadang 100 kg sampai 500 kg kirim ke Cilacap dan Cirebon, saya sempat kerja juga di Cirebon. Kemudian tahun 1996 mulai di Indonesia perusahaan-perusahaan besar bangkrut, kita punya hasil laut mau dikemanain datanglah orang Jepang kita mulai ekspor tahun 1996 dari pabrik sewaan. Kemudian tahun 1997 kita bangun pabrik sendiri tapi uang habis orangnya tidak datang yang mau rencana investasi sama-sama. Akhirnya kita berhenti satu tahun, ekspor mulai lagi Agustus 1997. Kemudian tahun 2006 Tsunami di Pangandaran ya memang perikanan hancur total, perahu hancur, semua hancur. Sekarang mulai lagi agak lumayan tapi kalau dihitung dengan sebelumnya mungkin 20-30 persen kembali jadi perlu waktu.
Sekarang berapa eskpornya?
Kita hanya hidup saja. Itupun kita tidak langsung ekspor ke Hong Kong tapi Jakarta, ada perwakilan buyer dari Hong Kong, dari Taiwan kita jual sama mereka di sini.
Kodok masih?
Sudah tidak dari tahun 2001. Jadi kita konsentrasi sekarang lebih ke lobster saja sama ikan-ikan karang.
Ada yang baru?
Kita melihat dari tantangan dari airlines itu adalah di sumber daya manusia. Masalah terbesar untuk Indonesia adalah sumber daya manusia, yaitu pilot. Sumber daya itu satu-satunya harus bikin flying school sendiri untuk supply sendiri atau mengirim pelajar untuk belajar jadi pilot, lalu kita ikat 5-10 tahun kerja di kita. Karena kalau sampai Amerika dan Eropa itu bangkit itu pilot-pilot asing yang ada di Indonesia pasti pulang ke negeri mereka. Jadi kita sekarang sedang mengurus perizinan untuk sekolah penerbangan, pesawatnya sudah kita siapkan baru ada satu rencananya kita impor sampai 12 pesawat tahun 2014 ini cuma untuk training. Jadi rencana kita buka flying school, kemudian meresmikan training center kita untuk bisa menjadi operator 142, yaitu terbuka untuk umum. Kalau sekarang tidak boleh karena kita belum punya lisensi untuk terima training dari luar. Sebetulnya dengan kita punya simulator itu adalah niatnya supaya kita bisa merambah bisnis training karena itu saya lihat juga sangat dibutuhkan di Indonesia maupun di Asia. Karena satu-satunya simulator caravan di luar Amerika ya cuma yang kita punya ini yang lain ada di Wichita dan Alaska.
Yang terjadi pada saat Anda dicari-cari disebut menyelundupkan minyak dan solar itu apa?
Dulu itu ada di Simeulue, saya jadi buronan Polres Aceh Singkil. Kita bawa solar untuk mesin es kita sama genset di Simeulue, kita bawa 5 ribu liter dalam truk dianggap menyelundupkan padahal cuma di Singkil mau menyeberang ke Simeulue saja.
Prinsip Anda dalam berbisnis seperti apa?
Berbisnis tentu harus benar dan untung, kalau bisnis tidak benar juga tidak untung. Kadang-kadang sedikit tabrak kanan kiri tapi maksudnya bagus, bukan untuk jelek. Kedua ya making money karena saya bukan charity institution. Kita juga menyadari untuk mengingatkan kita bahwa Susi Air itu lahir dari Tsunami, jadi saya pesan kepada manajemen dimana saja ada bencana di Indonesia kita harus jadi provider transportasi yang pertama dan kita dedikasikan tiga hari free. Biasanya kalau ada gempa atau Tsunami ini juga untuk mengingatkan kita.
Hitung-hitungan bisnisnya tidak bikin rugi tiga hari free?
Kalau mau hitung-hitung semua keluar dui atau tidak rugi tapi kita tidak boleh begitu. Ada saatnya diniatkan saya mau cari untung, saya mau kerjakan sesuatu kepada masyarakat atau negara. Jadi saya hanya mencoba kerja benar, kita dapat pekerjaan perintis saya laksanakan 100 persen, kalau tidak bisa ya semaksimal mungkin. Akhirnya ya memang realisasi pekerjaan perintis yang Susi Air kerjakan.
Kenapa Anda memutuskan tidak melanjutkan sekolah?
Bukan masalah sekolahnya, saya merasa tidak cocok.
Ada apa?
Tidak ada apa-apa sebetulnya, cuma saya pikir tidak cocok.
Tapi Anda sempat dimarahi bapak ya?
Iya musuhan sama bapak satu tahun lebih.
Belajarnya secara otodidak ya?
Saya pikir semua ilmu logika saja, intuisi kita pakai, akal sehat kita pakai, feeling kita pakai, kombinasi semua dan kemauan. Jangan malas, kalau orang malas ya susah mau diapa-apain walaupun pintar atau apa susah. Punya ide kita pikirkan mendalam, kita hitung, kita coba simulasi dari situ kita lihat apa hasilnya. Itu yang biasanya saya pakai untuk membuat keputusan dan melakukan sesuatu.
Satu hal yang sering terjadi ketika orang punya bisnis adalah masalah suksesi di kemudian harii. Apa yang Anda siapkan untuk itu?
Saya tidak punya spesifik keluarga untuk menjalankan bisnis ini. Mungkin saya dianggap sangat kontroversial karena saya tidak mewarisi perusahaan kepada anak-anak.
Jadi nanti jalan dengan sendirinya?
Ya kita limpahkan ke yayasan. Di yayasan ini banyak orang-orang penting dan pintar, kalau anak saya mampu ya silahkan kalau tidak ya dapat dividen saja cukup.
Editor: Doddy Rosadi
Dari Pengangkut Lobster, Susi Air Merambah Jalur Penerbangan Perintis di Papua
KBR68H, Jakarta - Tsunami Aceh adalah permulaan bagi perjalanan Susi Pudjiastuti mengarungi angkasa melalui PT ASI Pudjiastuti Aviation

BERITA
Senin, 06 Jan 2014 11:41 WIB


susi air, lobster, tsunami aceh, papua
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai