Bagikan:

Setahun Pelanggaran HAM Syiah Sampang

Setahun sudah kasus penyerangan Kaum Syiah di Sampang Madura. Sekadar kilas balik, penyerangan pertama terjadi pada 29 Desember 2011, saat itu pimpinan Syiah, Tajul Muluk diusir dan mengungsi.

BERITA

Selasa, 08 Jan 2013 11:03 WIB

Author

Erric Permana

Setahun Pelanggaran HAM Syiah  Sampang

syiah, sampang, madura

KBR68H, Jakarta- Setahun sudah kasus penyerangan Kaum Syiah di Sampang Madura. Sekadar kilas balik, penyerangan pertama terjadi pada 29 Desember 2011, saat itu pimpinan Syiah, Tajul Muluk diusir dan mengungsi. Penyerangan itu mengakibatkan 3 rumah dibakar dan harta benda dijarah, serta sebanyak 335 jiwa yang terdiri dari 107 anak-anak dan 228 orang dewasa dan lanjut usia terpaksa mengungsi, 2 orang tewas. Penyerangan berlangsung di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menyebut penyerangan itu sebagai pelanggaran HAM. Komnas HAM mengeluarkan 5 rekomendasi untuk kasus itu, di antaranya penuntasan kasus penyerangan, pemerintah dan pemuka agama daerah Sampang harus netral, masyarakat tak terpancing provokasi, dan pemerintah setempat harus menyampaikan pemberitaan yang akurat kepada pers.
 
Warga Syiah yang mengungsi pasca penyerangan mengalami berbagai macam masalah.  Juru Bicara warga Syiah Sampang, Hertasning Ichlas mengatakan masalah yang dialami pengungsi diantaranya, tidak mendapatkan bantuan berupa bahan pangan dan pengobatan gratis. Pemerintah setempat hanya memfasilitasi tempat pengungsian. Ini mengakibatkan beberapa balita pengungsi pun mengidap penyakit. Bahkan warga yang ingin kembali ke kampung halamannya tidak diizinkan oleh pemerintah setempat tanpa diberikan penjelasan dan solusi kepada warga.

Tercatat saat ini ada 156 warga yang masih mengungsi, diantaranya 56 pria dewasa, 61 perempuan, 11 anak laki-laki, 8 anak perempuan dan 29 balita. Juru Bicara Warga Syiah Hertasning Ichlas menambahkan kondisi psikologis warga Syiah pun terganggu. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten Sampang menganggap kasus penyerangan ini terjadi akibat warga penganut Syiah. Bahkan ada beberapa keluarga penganut Syiah, bercerai. Tidak hanya krisis pangan dan psikologis, krisis tenaga pengajar pun melanda pengungsi disana. Tenaga pengajar yang dikirim Diknas setempat tidak pernah kembali lagi tanpa alasan, sehingga menyebabkan anak-anak pengungsi tidak bisa mendapatkan pendidikan.

Kata dia, pemerintah seharusnya lebih komperhensif menangani kasus ini. Permasalahan ini dlatar belakangi oleh kepentingan politik. Pasalnya, kerap kali agama di daerah-daerah dijadikan alat politik oleh tokoh tertentu.  Menurut dia, ada tiga tokoh penting di dalam kasus ini, diantaranya adalah pemerintah setempat yang mempolitisasi kasus ini, yang kedua adalah ulama – ulama yang kerap kali mencari eksistensi, yang ketiga merupakan tokoh-tokoh preman yang mengambil keuntungan dari para ulama dan pemerintah setempat.

Setahun kasus Sampang, Lembaga Wahid Institute menilai kasus ini mencerminkan hubungan antar negara dengan warganya yang semakin konservatif. Peneliti Wahid Institute Ahmad Suaedy mengatakan negara kerap kali menghakimi warganya yang merupakan kaum minoritas. Menurut dia, negara seperti kehilangan ruh publiknya untuk mengatasi konflik antar umat beragama.

Dia menambahkan jika pemerintah tidak mengatasi kasus ini, maka akan sangat berbahaya bagi kaum-kaum minoritas. Visi pemerintah pun terkait kewajiban negara terhadap perlindungan warga negara harus segera diperbaiki. Hal ini guna mengatasi terjadinya keterbukaan informasi dan globalisasi yang semakin pesat. Menurut dia, Warga Syiah sudah ada sejak dulu, namun penyerangan dan stigma itu terjadi baru-baru ini. Hal itu diakibatkan oleh perkembangan informasi yang tidak dipertanggungjawabkan. Jika melihat hukuman yang lebih berat diberikan kepada Tokoh Syiah, Sampang, Tajul Muluk dibandingkan penyerangan yang hanya dihukum dalam hitungan bulan. Menurut dia, hal ini merupakan bukan yang kali pertama terjadi, selain Sampang di daerah lain pun terjadi.

Untuk mengatasi masalah ini Peneliti Wahid Institute Ahmad Suadey mengtakan tidak hanya pemerintah daerah,  pemerintah pusat harus bertanggung jawab mengatasi masalah ini. Paling tidak memberikan sanksi kepada pemerintah daerah jika tidak adil terhadap warga disana. Kasus ini juga merupakan ujian untuk pemerintah, jika pengungsi tersebut direlokasi maka kasus-kasus konflik antar warga minoritas di daerah lain akan mengalami hal yang sama.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending