Bagikan:

Pengusaha Rokok: PP Tembakau Justru Untungkan Industri Rokok Internasional

Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan yang mengatur tentang konsumsi rokok di masyarakat. Mau tak mau ini bakal mengubah banyak hal, termasuk para perokok yang mungkin ngeri; karena nanti tiap bungkus rokok bakal dipasang gambar-gambar kanker.

BERITA

Jumat, 11 Jan 2013 16:30 WIB

Pengusaha Rokok:  PP Tembakau Justru Untungkan Industri Rokok Internasional

rokok, PP Tembakau

KBR68H- Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan yang mengatur tentang konsumsi rokok di masyarakat. Mau tak mau ini bakal mengubah banyak hal, termasuk para perokok yang mungkin ngeri; karena nanti tiap bungkus rokok bakal dipasang gambar-gambar kanker. Nah, bagaimana pula dampaknya terhadap perusahaan rokok nasional? Bagaimana penerapannya? Juru bicara Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia GAPRINDO, Hasan Aoni Aziz, membahasnya dalam perbincangan berfikut ini.

Tuntutan ke jalur hukum jadi dilaksanakan dari pihak anda atau masih ditimbang lagi?

Kalau terkait dengan PP sudah ditandatangani tentu sebagai warga negara kita menghormati bahwa PP itu telah berlaku meskipun dengan catatan ada beberapa pasal. Yang kita ingin katakan, bahwa PP ini sejak awal sebetulnya kontroversial karena ada banyak pandangan yang berbeda melihat, bahwa PP ini tidak sekedar mengatur mengenai kesehatan  tetapi juga mengatur banyak hal terkait dengan soal bisnis. Jadi ada diversifikasi tembakau, mengenai penataan iklan, promosi, dan sebagainya. Tetapi di lain pihak ketentuan bagaimana mendirikan ruang merokok yang sesuai ketentuan itu juga tidak diatur, padahal sudah diputuskan oleh MK. Gappri sedang melakukan konsolidasi, kira-kira jika ini dilakukan apa saja kerugiannya dan kendala yang akan dihadapi, sekaligus juga sedang mengkaji aspek-aspek yang bisa diperbaharui atas PP ini.

Terkait dengan pengaturan iklan, di luar itu gambarnya lebih ekstrem. Menurut anda keberatannya dari sisi apa?

Sebetulnya bukan poin gambar semata tetapi bahwa penerapan gambar di penjelasannya adalah satu produk harus memiliki lima varian gambar. Tentu saja buat kita yang mendorong tentang kompetisi didalam bisnis ini akan menambah biaya yang cukup besar. Ada memang keterangan sebetulnya untuk rokok yang kecil, artinya rokok yang memproduksi per tahun 24 juta batang tidak dikenakan. Tapi kita bisa hitung bahwa yang 24 juta batang itu artinya dalam setahun memproduksi 5.480 bungkus, kategori ini hampir sekarang ini tidak lebih dari 10 pabrik. Dengan demikian hampir ketentuan ini dikenakan pada seluruh pabrik rokok baik besar, menengah.

Saya ingin sampaikan pada tahun 2007 posisi jumlah pabrik rokok itu sekitar 5.000 yang berproduksi hanya 100 pabrik. Jadi banyak regulasi selain persoalan saingan, itu yang membuat perusahaan-perusahaan menjadi bergelimpangan dan PP ini akan menekan terhadap keberlangsungan industri. Jadi industri ini telah memberikan pemasukan yang cukup memadai, lebih dari Rp 100 triliun. Kalau dikatakan biaya recovery terhadap kesehatan jauh dari itu saya kira perlu dikaji lagi. Karena kalau metodenya menghitung adalah pengeluaran pribadi dan negara, maka seharusnya didalam pemasukan dari industri ini juga memasukan unsur pribadi dan negara, jadi apple to apple.

Tapi buat kita, kalau selalu memasukan analogi dan logika mengenai perbandingan yang tidak setara saya kira akan selalu berhadap-hadapan. Jadi harus dilihat industri ini adalah industri khas Indonesia dalam konteks kretek, maka harus didudukkan persoalannya. Kalau mau diatur mengenai kesehatan kita sangat setuju, PP yang lalu PP 19 Tahun 2003 kita sudah menerapkan dan cukup sulit tapi kita menaati.

Hanya di PP sekarang ini kontroversinya adalah banyak peraturan-peraturan yang bisa menimbulkan persaingan yang kurang sehat, memberikan peluang industri global untuk masuk. Dari satu sisi misalnya, kita atur kemudian di kebijakan lain tidak ada lagi subsidi terhadap petani dan sebagainya tapi di sisi lain impor tembakau dibuka seluas-luasnya. Kalau kita sepakat sebetulnya kelompok yang kritis terhadap tembakau, ini barang adiktif juga harus dibatasi. Karena kita tahu bahwa impor tembakau berdasarkan data BPS telah melampaui angka kurang lebih 120 ribu ton, artinya lebih dari separuh yang dibutuhkan kebutuhan oleh kebutuhan tembakau di Indonesia.

Impor terjadi karena banyak pertimbangan, apakah impor tembakau disebabkan petani tembakau tidak bisa memenuhi kebutuhan pasokan pabrik rokok nasional?

Saya ingin mengatakan berkorelasi dengan PP ini. Jadi pada tahun 1999 ada PP 81 itu ditentukan tar dan nikotin ditentukan pada kadar tertentu. Lalu yang terjadi karena industri ini kemudian mengikuti peraturan ini, maka muncul inovasi produk untuk memenuhi terhadap tar dan nikotin. Maka muncul produk-produk inovatif seperti yang kita kenal jenis mild, jenis light, dan sebagainya. Konten dari tembakau untuk memenuhi inovasi produk seperti itu tidak bisa dipenuhi oleh produk tembakau Indonesia, maka muncullah impor.

Yang terjadi bahwa sekarang market share terbesar di dalam produk tembakau adalah jenis-jenis itu, karena itu kemudian impor itu untuk mengisi itu dan market share kemudian diisi oleh produk-produk yang memang memiliki pengalaman untuk memproduksi itu, yaitu industri rokok global. Dalam posisi itu saya ingin mengatakan, bahwa sebuah regulasi telah membangun atau membentuk satu perilaku konsumen kemudian muncul konsumsi tembakau internasional. Jadi saya ingin mengatakan PP inipun dalam jangka 5-10 tahun akan berpengaruh terhadap penekanan industri nasional. Ini yang saya kira aspek ini yang perlu diperhatikan.

Tapi rokok-rokok ringan itu berlaku sejak lama, artinya sebetulnya ada waktu bagi pengusaha untuk bisa memproduksi tembakau yang dikehendaki. Kenapa tidak dilakukan itu?

Jadi didalam pertanian itu ada yang namanya monopoli geografis. Jadi varietas tertentu jika ditanam di tanah Indonesia tidak bisa menghasilkan seperti varietas asalnya, itu sudah mafhum secara ilmu pengetahuan di bidang pertanian. Jadi tidak bisa itu kemudian dipenuhi seperti kita suplai barang, problemnya disitu. Tapi prinsipnya bahwa kita setuju terhadap pembatasan rokok, tetapi kemudian PP ini yang kita rasakan memiliki dampak yang luar biasa terhadap industri kretek nasional. Itu harus dilihat dari pengalaman PP 81 maka PP ini akan terlihat pada 5-10 tahun mendatang, kita lihat bahwa sekarang industri nasional sudah terpuruk. Jadi yang punya izin hanya 600 tetapi yang berproduksi aktif hanya 100, dari 100 itu lebih dari 50 persen dikuasai asing. Jadi jangan sampai kita memberikan batasan di dalam tetapi kita memberi penguatan ekonomi pada industri internasional.

Saya ingin mengatakan, PP ini mengatur bahwa membangun kesehatan itu dasarnya. Tetapi didalam membangun kesehatan tentu tidak melakukan semuanya kemudian diatur, sehingga over capacity dari kewenangan PP itu sendiri. Jadi pandangan kami bukan berarti menolak terhadap pembatasan, kami sekarang sudah melakukan itu sejak PP 19 kami menaati itu, problemnya bukan disitu. Jika ada problem perilaku apakah itu problem keluarga, apakah itu problem law enforcement itu bukan persoalan yang kemudian ditimpakan pada industri.

Jadi beberapa poin yang anda sampaikan tadi menjadi materi utama terkait industri dan ancaman terhadap industri rokok ya?

Kami merasakan itu dan kami sedang melakukan kajian. Saya kira perlu diberikan porsi yang cukup karena memberikan pendapatan pada negara yang cukup luar biasa. Jadi kita belum memberikan porsi yang cukup supaya semua aturan itu tidak melampaui dari batas-batas yang harusnya diatur. 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending