Bagikan:

Pengamat: Idealnya, Hanya Lima Parpol Peserta Pemilu 2014

KBR68H, Jakarta

BERITA

Jumat, 18 Jan 2013 10:36 WIB

Author

Doddy Rosadi

Pengamat: Idealnya, Hanya Lima Parpol Peserta Pemilu 2014

parpol, pemilu 2014

KBR68H, Jakarta – KPU Pusat hanya meloloskan 10 parpol yang akan menjadi peserta pemilu 2014. Dari 10 parpol tersebut, hanya satu parpol baru yaitu Partai Nasdem. Jumlah itu jauh berkurang dari pemilu-pemilu sebelumnya. Pada 1999, ada 48 parpol, 2004 ada 24 partai, di 2009 yang mencapai 38 partai politik. Apakah jumlah 10 parpol yang akan tampil di Parpol merupakan jumlah yang ideal? Simak perbincangan KBR68H dengan pakar hukum tata negara Refly Harun dalam program Sarapan Pagi.

Apakah 10 parpol di Pemilu 2014 merupakan jumlah yang ideal?

Ideal. Terlepas mayoritas muslim misalnya, dengan persyaratan Pasal 8 ayat 2 Undang-undang Pemilu yang baru ini yang harus 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, 50 persen kecamatan, kemudian ada 1.000 KTA dan sebagainya. Maka sesungguhnya partai-partai yang berbasis primordial seperti PDS dan sebagainya, itu memang sulit dan barangkali tidak akan pernah lolos menjadi peserta pemilu. Kita membayangkan misalnya Partai Damai Sejahtera di Aceh, pasti susah untuk lolos, kalau untuk memenuhi di tingkat provinsi saja mungkin bisa, tapi untuk di tingkat kecamatan, kabupaten/kota itu tidak gampang. Berikutnya adalah partai-partai politik yang berdiri ini jadi kehilangan haknya untuk ikut dalam pemilu. Sebenarnya ke depan, pemilu ini tidak boleh mengganjal partai untuk ikut pemilu. Tetapi untuk ikut pemilu ada syaratnya, hanya syaratnya bukan syarat seperti yang saat ini harus verifikasi, keterwakilan, dan sebagainya.

Tadi anda sebutkan sebenarnya lima partai ideal, apakah itu bisa menyuarakan seluruh aspirasi masyarakat Indonesia?

Kalau kita kaitkan dengan fenomena politik di Indonesia sejak tahun 1955 sebenarnya dua arus besar saja. Pertama, partai-partai yang berbasis massa Islam dan saat ini diwakili seperti PKS, PPP, PAN, PKB, PKNU, dan sebagainya. Kemudian kedua, partai berbasis massa nasional artinya non Islam ada Partai Demokrat, PDIP, Nasdem juga partai seperti PDS kita anggap partai berbasis massa nasional. Kemudian fenomena yang muncul pada era Orde Baru adalah partai non ideologi, yaitu Partai Golkar yang dia tidak mau menyebut partai tapi golongan. Sehingga Golkar ini sebenarnya partai yang non ideologi, karena itu dia mungkin ditempatkan di partai tengah, tidak ideologi kiri atau kanan walaupun sebenarnya kiri juga. Karena itu lima sudah mewakili, karena di sayap kanan ada partai yang sangat kanan seperti PKS, tapi ada kanan yang moderat seperti PAN. Di sebelah kiri ada partai yang sangat kiri, nasionalismenya tinggi sekali seperti PDIP dan sebagainya. Tapi ada juga partai yang agak kiri seperti Demokrat misalnya, lalu partai yang ideologis kanan. Sebenarnya dengan spektrum seperti itu lima cukup, cuma masalahnya di Indonesia ini partai itu dijadikan alat oleh tokoh-tokohnya untuk berkuasa.
 
Bagaimana kalau dua partai?

Kalau dua partai ada satu teori mengatakan, kalau dua partai maka kemudian yang akan terjadi adalah deadlock permanen, artinya setiap pengambilan keputusan di parlemen itu tidak akan pernah cocok. Apalagi kalau kekuatan partai itu relatif berimbang, sebagai contoh misalnya pengambilan keputusan apapun satu partai bisa memboikot, ketika memboikot quorum tidak tercapai. Kenapa di Amerika Serikat deadlock permanen tidak terjadi, karena performance anggota DPR tidak hanya ditentukan oleh kebijakan partai tetapi pada tanggung jawab individualnya. Sehingga dalam pengambilan keputusan, seorang anggota dari misalnya Partai Demokrat itu bisa mendukung republik atau sebaliknya. Di Indonesia tidak begitu, oligarki partai ini sangat besar bahkan kadang-kadang kebijakan partai ditentukan oleh individu. Karena itu di Indonesia sangat tidak mungkin seseorang melawan kebijakan partai, karena kalau dia melawan kebijakan partai mekanisme recalling akan diterapkan. Kecuali, kita memperbaiki infrastruktur politik kita misalnya recall tidak ada.

Jadi perlu ada partai sebagai penengah?

Tidak begitu. Saya mengatakan, bahwa karena Indonesia keragamannya sangat tinggi dan kemudian apa-apa itu didasarkan pada fenomena yang ada, fenomena itu saya katakan tadi kanan, kiri, agak kanan, agak kiri, dan tengah. Kalau kita paksa menjadi dua, maka kemudian yang terjadi kanan dan kiri saja, itu justru berbahaya bagi integrasi dan keutuhan kita.

Sudah begitu performa dari calon legislatifnya jelek sekali ya?

Iya performa itu biasanya sangat ditentukan oleh partai politiknya. Karena tidak bisa jadi performa individual, kalau di Amerika Serikat mereka performanya performa individual. Kadang-kadang misalnya, kalau mereka mendukung kebijakan partai, konstituennya tidak setuju maka konstituen bisa mengancam, membuat petisi, dan sebagainya kepada senator.

Soal figur-figur bagaimana?

Kita bahas dua hal dulu. Pertama memang soal jumlah partai kita serahkan pada konstitusional engineering, harus ada rekayasa konstitusional. Tidak boleh ada suatu peraturan yang memaksa partai politik itu akhirnya hanya 2-5. Lalu kemudian mengenai anggota DPR, pertama kita menganut sistem proporsional terbuka. Kalau sistem proporsional terbuka mau tidak mau memang pasar bebas. Celakanya yang lebih banyak ditonton adalah informtainment, jangankan di daerah lain, di DKI Jakarta saja itu konstituen tidak mengenal calon-calon anggota DPR. Akibatnya kalau ada orang terkenal mencalonkan diri, bisa jadi dia  terpilih. Faktor kedua, karena memang kecurangan itu banyak terjadi. Apalagi penghitungan suara itu dihidupkan kembali di tingkat TPS, ketika kita di TPS lalu bergerak ke PPS suara berubah, ke KPUD berubah, dan seterusnya. Sehingga orang yang jadi itu adalah orang yang secara finansial kuat, sehingga bisa mempengaruhi pengambil keputusan penghitungan suara tersebut untuk menguntungkan dirinya. Bahkan dalam banyak kejadian, petugasnya sendiri yang menawari suara, sehingga kalau mereka tidak punya modal kuat dan tidak terkenal maka kemudian sangat sulit sekali mereka akan menembus lapisan elit di Senayan itu.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending