Bagikan:

Otonomi Khusus untuk Bali Masih Jadi Wacana

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali mengusulkan pemberlakuan otonomi khusus (otsus) di Bali. Menurut Senator asal Bali I Wayan Sudirta, jika Otsus tidak segera diberikan, ia meramalkan kalau pulau Dewata bakal porak-poranda karena budayanya bakal puna

BERITA

Jumat, 18 Jan 2013 11:06 WIB

Author

Anto Sidharta

Otonomi Khusus untuk Bali Masih Jadi Wacana

Otonomi Khusus untuk Bali

KBR68H - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali mengusulkan pemberlakuan otonomi khusus (otsus) di Bali. Menurut Senator asal Bali I Wayan Sudirta, jika Otsus tidak segera diberikan, ia meramalkan kalau pulau Dewata bakal porak-poranda karena budayanya bakal punah, termasuk sistem subak. Sementara, menurut Direktur Eksekutif Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, penamaan otsus di Bali tidak penting. Namun, yang paling efektif adalah tapi pemberian otonomi penuh soal urusan pariwisata dan budaya di tingkat provinsi. Berikut pendapat kedua-nya dalam perbicangan berikut.

Anggota DPD asal Bali I, Wayan Sudirta : 

Anda mengusulkan adanya otonomi khusus untuk Bali, seberapa mendesak sebenarnya Otsus itu?

Itu sudah delapan tahun lalu ketika tahun pertama saya jadi anggota DPD muncul aspirasi itu.

Sudah delapan tahun tapi sampai sekarang belum bisa masuk Prolegnas?

Sudah. Seminggu setelah saya reses, saya ajukan melalui Panja Undang-undang, sebulan setelah itu masuk Prolegnas, delapan tahun berturut-turut masuk Prolegnas.

Tapi tidak pernah dibahas?

Di DPR tidak tapi untuk di DPD tahun ini akan dibahas.

Apa kepentingannya untuk menerapkan Otsus?


Ada tiga hal. Pertama menyangkut budaya dan adat istiadat, kedua menyangkut lingkungan dan kelestarian alam, ketiga manusia.

Kalau yang bikin beda untuk otonomi khusus Bali itu apakah ada yang lain?


Kita lihat yang pertama misalnya, Bali karena nilai-nilai budayanya orang-orang tertarik ke Bali, pariwisata berlimpah. Kemudian beberapa penduduk dari berbagai daerah datang ke Bali menikmati hasil budaya itu.

Sayangnya baik pariwisata maupun penduduk pendatang tidak bisa diwajibkan memelihara budaya kalau itu tidak diatur. Padahal memelihara budaya biayanya luar biasa dan mereka dari pagi sampai sore bergerak di lingkungan budaya, seperti menjaga tradisi melaksanakan upacara adat, berkesenian, lalu mana kontribusi mereka.

Kalau ini tidak diatur secara khusus, punah budaya ini karena makin besar kebutuhan akan atraksi budaya untuk meningkatkan pariwisata. Tapi tidak ada biaya yang dikucurkan ke mereka yang memadai, jadi rakyat menanggung beban yang luar biasa berat, itu dari segi budaya. Sekarang dari segi lingkungan, mungkin daerah lain tidak mengalaminya, sekarang subak semakin hari makin tergusur oleh hotel, bungalow, dan sebagainya.

Bukankah untuk lingkungan atau budaya cukup diatur perda saja ya?

Buktinya Perda yang ada sekarang tidak berdaya. Lalu kemudian jurang-jurang menyebabkan banjir, tidak ada yang mampu membendung, sawah terasering tidak ada di daerah lain.

Kalau itu lebih ke penegakan hukum lingkungan yang harusnya diusung sebetulnya ya?

Itu teorinya tapi omong kosong itu semua.

Berarti tidak ada keberanian orang-orang Bali untuk menindak mereka yang nakal?


Bukan hanya orang Bali, orang Indonesia tidak ada yang mampu melawan investor dan kepala daerah, mana ada yang mampu.

Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng :

Apakah anda melihat benar-benar perlu Bali mendapatkan otonomi khusus?


Otonomi khusus itu sesuatu yang biasa yang dikenal di negara-negara. Tetapi untuk Indonesia terus terang saya katakan, bahwa apa yang dibutuhkan itu label atau isinya, bungkusnya atau isi bungkusnya.

Di Indonesia penggunaan label selalu sensitif, tidak mudah bagi Aceh, Papua, Yogyakarta ketika memperjuangkan otonomi khusus itu jalannya sangat panjang. Karena itu bagi saya, saya memahami benar bahwa Bali punya karakter khusus dalam hal kebudayaan, Bali juga punya potensi khusus dalam hal pariwisata.

Tetapi apakah kemudian dengan karakter khusus ini harus diangkat dalam konteks kebijakan otonomi khusus ataukah kita perjuangkan isinya. Saya melihat bahwa Bali memiliki satu kesatuan entitas budaya, satu kesatuan entitas pariwisata yang semuanya diangkat katakanlah di tingkat provinsi.

Sehingga kemudian menurut saya yang diperjuangkan justru bukan otonomi khusus dalam hal label, tapi isinya adalah otonomi penuh dimana urusan pariwisata, urusan budaya itu bisa saja diatur sepenuhnya di tingkat provinsi. Sehingga kemudian minimal dua sektor ini menjadi sesuatu yang khusus dikelola provinsi.

Tanggung jawab provinsi tidak sampai kabupaten/kota?


Itu problemnya. Justru kalau dipecah-pecah urusan pariwisata dan budaya ini membuat tidak efektif, kemudian antarkabupaten terjadi kecemburuan. Kita tahu bahwa pusat pariwisata Bali itu di selatan Bali terutama Badung dan kemudian banyak keuntungan dirasakan oleh Kabupaten Badung, tapi tempat lain tidak.

Karena itu mari kita berdiskusi soal isinya ketimbang soal label, kalau label ini sesuatu yang sangat problematik. Kalau kita lihat historisnya ini sudah diperjuangkan sejak 1999 bahkan uang yang dikucurkan untuk itu cukup banyak. Pemerintah daerah Provinsi Bali sudah mengeluarkan sekitar Rp 7 miliar tahun itu untuk memperjuangkan, jalannya panjang sekali.

Tapi tanpa Undang-undang Otonomi Khusus ini bagaimana memberlakukan itu semua?


Masuknya itu revisi Undang-undang No. 64 Tahun 1958 pembentukan Provinsi Bali. Ini sebenarnya pintu masuk menurut saya, kemudian isinya yang akan diubah. Isinya antara lain kalau saya, bagaimana keunikan Bali dalam hal pariwisata, kebudayaan itu diatur khusus berbeda dari daerah-daerah lain.

Kalau di berbagai daerah, kebudayaan dan pariwisata itu diurus oleh kabupaten/kota, maka di Bali itu jadi satu kesatuan entitas pariwisata Bali yang diangkat di level provinsi, sehingga provinsi yang mengatur ini. Ini yang saya sebut otonomi penuh urusan budaya dan pariwisata di tingkat provinsi, itu yang diperjuangkan.

Anggota DPD asal Bali I, Wayan Sudirta : 

Ini tawaran lain supaya tidak berpolemik di nama otonomi khusus, bagaimana?

Sebenarnya tidak sesempit pariwisata, karena saya tadi bilang ada masalah subak, terasering, jurang. Selain masalah budaya dan lingkungan ada masalah manusia, bagaimana jalan keluarnya kalau orang Bali dari zaman dahulu kala kalau ada hari-hari raya dia akan menaruh pekerjaannya dan karena itu Bali seimbang dunia dan akhirat. Sehingga dia tidak bisa mengabaikan upacara adat dan tradisi, ketika dia jadi karyawan dia akan menjadi korban dan dicap bahwa orang Bali pemalas, banyak libur, karena itu tidak layak bergerak di pariwisata dan tidak pantas direkrut sebagai pegawai.

Orang Bali akan menjadi orang aborigin ini karena tidak akan diterima sebagai pegawai. Lalu ditambah lagi penduduk pendatang tidak dibatasi karena NKRI, tidak pernah diganggu dan mereka tidak dikenakan kewajiban-kewajiban adat seperti tenaga, waktu, pikiran, biaya itu bukan main banyaknya. Sehingga bersaing di bidang ekonomi mereka tidak akan menang seperti orang Malaysia melawan keturunan Cina pada waktu itu.

Bagaimana cara mengatasinya dengan Undang-undang yang simetris ini omong kosong, Bali mau jadi apa nanti, ketika terlambat baru kita kaget. Jangankan masalah yang mau diperbaiki, Perda tata ruang saja mau diubah oleh kepala-kepala daerah dan investor. Siapa yang bisa membela Bali, jangan hanya kita di angan-angan membicarakan Bali sementara Bali hancur lebur, lihat bagaimana banjir, keamanan itu sudah tidak terjaga oleh Undang-undang yang ada. Orang Indonesia ini mau mengajak Bali masuk NKRI, dengan setia kita masuk tapi setelah ada di lingkungan kita digerogoti terus.

Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng :


Apa tanggapan Anda?

Sebenarnya yang mau dilihat apa yang mau diperjuangkan. Kalau bicara urusan pariwisata dan budaya, kontribusi devisa Bali bagi negara cukup besar 20 persen sampai 30 persen tapi mereka merasa tidak adil dari segi fiskal.

Kedua, yang diterima oleh Bali adalah pajak kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, dan sebagainya. Saya melihat kalau Bali itu ditempatkan sebagai daerah otonomi penuh untuk 2-3 urusan atau apapun, tapi poinnya adalah bagaimana Bali tumbuh dalam urusan tertentu, kemudian alokasi fiskal untuk Bali diperkuat. Sehingga kemudian yang Pak Wayan katakan soal kelestarian, pertanian, subak, dan lain-lain sebagai budaya, itu harus dilindungi oleh negara.

Jadi otonomi penuh yang menjadi kata kunci dan revisi Undang-undang No. 64 Tahun 1958 yang jadi pintu masuk, bukan kemudian Undang-undang Otonomi Khusus yang membuat problematik, itu resistensinya cukup tinggi.                           
         
 


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending