KBR68H, Jakarta- Pertengahan Januari lalu, Walikota Lhokseumawe, Aceh melarang perempuan duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor. Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya mengatakan, sudah mengesahkan larangan itu dalam sebuah Perda. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) pun mengklaim sepakat dengan aturan itu. Aturan ini pun menuai kecaman berbagai pihak, khususnya aktivis perempuan.
Sementara, Kementerian Dalam Negeri merilis, sekitar sembilan ribu Peraturan Daerah (Perda) dievaluasi selama 2011. Dari jumlah itu, lebih dari sepertiga dikembalikan ke daerah untuk diperbaiki.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, sebanyak 282 kebijakan di daerah yang mengacukan hak perempuan sepanjang 2012, lalu. Jumlah itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, ada 154 Perda yang dianggap mendiskreditkan perempuan, pada tahun 2011 meningkat menjadi 207 kebijakan.
Menanggapi banyaknya Perda yang diskriminatif terhadap hak sosial masyarakat, Direktur Ekskutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, munculnya perda yang diskriminatif tersebut ditengarai sebagai bentuk pengartian otonomi daerah yang kebablasan.
“Makna awal otonomi adalah bagaimana menghadirkan ruang hidup bersama yang nyaman, dan harmonis di daerah, untuk kebaikan bersama. Namun, yang terjadi adalah, ada factor lain. faktor yang sangat politis, saya kira, di mana para elit kemudian memanfaatkan peluang yang ada, peluang otonomi ini, untuk mengkapitalisasi kesadaran politik identitas yang sedang bangkit di daerah, menuju sesuatu yang lebih pada kepentingan mereka. Inilah yang mengakibatkan kemudian banyak perda-perda yang diskriminatif dan distortif, membuat ruang kehidupan sosial di daerah menjadi sesak dan pengap,” kata Robert.
Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Nurul Arifin berpendapat, aturan-aturan diskriminatif tersebut kebanyakan dibuat berdasarkan kegenitan politik yang mengacu pada tubuh perempuan dan bersifat instan.
“ Jelas undang-undang yang disebut diskriminatif itu selalau mengacu pada perempuan. Jadi, tidak ada yang sifatnya untuk semua, karena kan yang lebih sering kan, berpakaian muslim, yang terbaru dilarang duduk mengangkang, kemudian perempuan dilarang keluar setelah jam 12 malam, itu semua mengacu pada tubuh perempuan. Jadi, apa hanya kegenitan politik saja yang sifatnya instan, karena peraturan tersebut tidak memerlukan perencanaan, jadi perencanaan, kemudian persiapan, dan kemudian infrastruktur untuk penunjangnya,” tutur Nurul Arifin.
Selain itu, kata Nurul, maraknya perda diskriminatif ini juga dikarenakan sikap pemerintah yang tidak tegas dalam menyikapi munculnya perda diskriminatif di beberapa daerah.
“ Ini adalah kebudayaan, ini adalah budaya masyarakat setempat, selalu argumentasinya seperti itu. Saya seringkali prihatin dan menyesal, kenapa pemerintah pusat tidak pernah bertindak tegas mengatakan, kita ini negara Indonesia yang mejemuk, dan bukan negara islam. Pemerintah seringkali membiarkan itu, dan tidak berdaya dihadapkan dengan orang-orang yang kemudian menyeret ini pada hukum agama dan sebagainya,” jelas Nurul.
Hal berbeda disampaikan oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati menjelaskan, banyak pihak yang sering salah dalam mengartikan makna perda tersebut atau salah dalam pengimplementasiannya di lapangan.
“ Bahwa kadang-kadang perda itu juga tidak dapat dipahami secara umum atau dimengerti dengan setara oleh semua aparatnya. Bahkan ada juga yang salah dalam mengartikan substansi dalam perda tersebut, contohnya perda anti maksiat yang ada di Tangerang yang beberapa tahun yang lalu, para aktivis perempuan dan gerakan perempuan cukup aktif dan fokus untuk membahas itu, dan kemudian terjadinya salah tangkap, “ tegas Mike Verawati.
Mike menambahkan, kesalahan implementasi tersebut juga dikarenakan prinsip Gender dan HAM tidak benar-benar diletakkan dalam pembuatan Perda.
“ Bahwa itu terkait dengan perda anti maksiat yang melarang perempuan untuk keluar malam, ini kan hal-hal seperti ini ini kalau substansi itu tidak diperhatikan atau tidak menjadi patokan, ketika prinsip-prinsip gender atau HAM itu tidak benar-benar diletakkan dalam sebuah substansi perda, ini akibatnya seperti ini, jadi kesalahan tangkap, ataupun juga cara aparat dalam mengartikan sebuah kebijakan ini,” tegas Mike Verawati.
Anggota Komisi Pemerintahan, Nurul Arifin meminta, adanya pemahaman dalam pembuatan perda. Karena secara hirarki, perda tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Semisal Undang-Undang Dasar 1945. Kata dia, jika ada yang terlanggar, maka Perda tersebut harus dibatalkan.
“ Namun, hal itu tidak bisa langsung dilakukan mengingat banyaknya perda. Pemerintah seringkali terkesan lalai dan baru tahu undang-undang itu bermasalah ketika publik meributkan, begitu. Jadi kalau publik tidak meributkan, ini akan lewat begitu saja. Seperti di Tangerang, Kota Padang, dan tempat lain di Jawa Barat, ini karena masyarakatnya kritis, kemudian pemerintah baru bereaksi. Pemerintah itu lebih reaktfi kepada perda yang sifatnya bisnis, tapi sifatnya yang mendiskriminasi perempuan, itu baru bereaksi ketika para aktivis perempuan itu meributkannya,”tegas politisi asal Golkar ini.
Direktur Ekskutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berharap, diskriminasi dalam perda ini merupakan masalah negara. Untuk itu presiden harus turun tangan. Negara harus sama dalam melihat masyarakat, baik itu laki-laki atau perempuan.
“Tidak harus mengganti Mendagri. Tapi, Presiden harus mempunyai target, jangan hanya diserahkan ke Mendagri. Karena ini problem yang serius. Sudah ada ratusan perda diskriminatif yang ditemukan oleh Komnas Perempuan, demikian juga hasil kajian dari Setara Institute. Jika pemerintah tidak memiliki data tersebut, pemerintah bisa menggunakan data tersebut untuk referensi, agar ada proses yang jelas dan konkrit dari untuk menindaklanjuti temuan ini. Apakah kemudian ini dibatalkan, atau kemudian pemda dibantu untuk merevisi aturan ini, atau seperti apa, agar tidak mengambang. Tindak lanjut inilah yang patut dipertanyakan?,” pungkas Robert Endi Jaweng.
Larang Perempuan Duduk Mengangkang, Otonomi Daerah Kebablasan
KBR68H, Jakarta- Pertengahan Januari lalu, Walikota Lhokseumawe, Aceh melarang perempuan duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor.

BERITA
Senin, 28 Jan 2013 13:30 WIB


perempuan ngangkang, lhokseumawe
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai