KBR68H, Jakarta – Pemberitaan televisi berita yang kerap memihak pemilik media menggugah sutradara muda Ucu Agustin untuk membuat film dokumenter tentang penyalahgunaan frekuensi. Proses riset sudah dimulai sejak 15 Desember 2011, bertepatan dengan dibelinya portal berita Detik.com oleh Trans Corporation.
Awalnya, Ucu ingin memasukkan cerita tentang pembelian Detik.com oleh Trans Corp tersebut ke dalam film dokumenternya itu. Namun, rencana tersebut batal. Ketika kasus Luviana, wartawan Metro TV yang dipecat karena mempertanyakan sisten penilaian karyawan, muncul di sejumlah media, Ucu memutuskan untuk memasukkan cerita Luviana ke dalam film dokumenternya yang diberi judul: Di Balik Frekuensi.
“Jadi film dokumenter ini meminjam dua cerita, pertama tentang Luviana yang dipecat dari Metro TV dan kedua tentang Hari Suwandi dan HartoWiyono, dua warga Lapindo yang berjalan kaki dari Porong ke Jakarta. Kita bisa melihat bagaimana TVOne memutarbalik pemberitaan tentang kasus Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Sedangkan di Metro TV, ada salah satu bekas produser yang bercerita tentang permintaan atasannya untuk memasukkan salah satu Menteri dalam program Newsmaker dengan iming-iming uang,”jelas Ucu.
Televisi berita, kata Ucu, juga kerap melakukan politisasi dalam sebuah berita antara lain dengan memilih narasumber yang cenderung berpihak kepada mereka. Di film dokumenter ini, akan bisa dilihat bagaimana televisi berita melakukan hal itu dan frekuensi milik publik digunakan untuk kepentingan media itu.
“Masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi. Karena, masyarakat tidak bisa memilih. Kanal-kanal yang seharusnya digunakan untuk memberikan edukasi yang benar justru digunakan oleh pemilik media untuk melawan musuh-musuhnya. Kedua, frekuensi publik juga digunakan untuk kepentingan mereka, misalnya memberitakan aktivitas Aburizal Bakrie dan juga Surya Paloh secara langsung selama beberapa jam,”tandas Ucu.
Ucu Agustin – yang sempat menjadi jurnalis di KBR68H – menyelesaikan film dokumenter “Di Balik Frekuensi” selama satu tahun lebih. Ucu sengaja tidak mewawancarai para pemilik televisi untuk meminta tanggapan tentang penyalahgunaan frekuensi publik itu.
“Karena ini bukan produk jurnalistik dan merupakan film dokumenter jadi memang sejak awal sudah ada keberpihakan. Film ini ingin menyampaikan kepada para jurnalis dan juga kepada pemilik media serta para pemangku kepentingan tentang kondisi dunia jurnalistik televisi saat ini.”kata Ucu Agustin.
Rencananya, film ini bisa disaksikan secara gratis melalui offline dan online. Untuk offline, Ucu dan timnya akan menggelar roadshow ke sejumlah daerah antara lain ke Porong, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang dan Bali. Di daerah-daerah tersebut akan diputar film “Di Balik Frekuensi” melalui layar tancap. Sedangkan pemutaran melalui online kemungkinan akan ditunda terlebih dahulu karena ada rencana untuk mengikutsertakan film ini ke festival film.
“Kalau untuk festival itu salah satu syaratnya tidak boleh diputar di online terlebih dahulu. Jadi kemungkinan ditunda. Film ini tidak menggunakan hak cipta jadi siapa pun yang mau menonton nantinya bisa menggandakan tanpa harus izin terlebih dahulu. Kita menggunakan creative common, jadi hak cipta itu ada di tangan publik. Karena keterbatasan dana, kami hanya bisa menggandakan film ini sebanyak 100 keping. Tetapi, kalau sudah bisa disaksikan melalui internet, siapapun boleh menggandakan film ini secara gratis asal bukan untuk kepentingan komersial,”tandas Ucu.
Ketika Media Menggunakan Frekuensi untuk Kepentingan Pribadi
KBR68H, Jakarta

BERITA
Kamis, 10 Jan 2013 16:25 WIB


di balik frekuensi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai