KBR68H – Belasan grup mengendalikan ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi media di Indonesia. Nah, untuk seluruh televisi di negeri ini hanya hanya dimiliki oleh lima orang saja. Sebut saja Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki TV One. Lalu ada Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh yang memiliki Metro TV. Fakta-fakta seputar konglomerasi televisi dan kasus-kasus lain soal kepemilikan media diangkat seorang sutradara muda Ucu Agustin ke dalam sebuah film dokumenter berjudul “Di Balik Frekuensi”. Hari ini rencananya film tersebut akan diluncurkan ke masyarakat, namun karena banjir diundur hingga 24 Januari mendatang. Apa yang diharapkan sutradara dari film ini? Simak penjelasan Sutradara “Di Balik Frekuensi” Ucu Agustin dalam perbincangan berikut.
Apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan dari film “Di Balik Frekuensi” ini?
Sebenarnya yang kita ingin sampaikan, dulu kita tahu ketika AJI berdiri ketika zaman Soeharto dan zaman itu sudah lewat ada masa reformasi, apa yang terjadi. Saya sendiri dalam perjalanan menulis ini setahun, kembali dalam isu jurnalisme, sepertinya kalau dulu pers dibungkam sekarang dibeli.
Tidak semua bisa dipukul rata seperti itu, tapi kalau dalam “Di Balik Frekuensi” khususnya penggunaan media yang menggunakan frekuensi publik dan itu jarang sekali dibahas. Saya melihat dalam kasus yang saya ikuti misalnya Luviana, solidaritas di antara para jurnalis TV seperti di Metro TV bisa dikatakan tidak ada.
Yang ingin disampaikan adalah kita mempertanyakan sebenarnya untuk siapa media dan jurnalisme itu ada, untuk siapa mereka bekerja, untuk publik ataukah untuk pemilik media kalau dalam film saya.
Apakah film “Di Balik Frekuensi” ini juga membahas mengenai kepemilikan dari sejumlah media yang sangat banyak di Indonesia ternyata hanya dikuasai segelintir orang saja?
Iya itu ada dalam film kita, tapi kita sudah sangat yakin dengan materi cerita kita. Kita punya kisah yang sangat kuat, yaitu kisah Luviana dan lewat Luviana kita bisa melihat bagaimana pekerja jurnalisme terutama jurnalime TV di Indonesia dan permasalahannya.
Dia asisten produser, di Metro TV sudah 9,5 tahun waktu kasus terjadi, sampai sekarang dia mempertanyakan. Awalnya memang masalah bonus, tapi sebelumnya dari tahun 2009 ada 15 asisten produser Metro TV mempertanyakan sistem penilaian. Karena ada yang naik cepat ada yang tidak, ada yang gajinya sangat kecil ada yang gajinya tinggi. Teman-teman Luviana beberapa diantaranya sudah bekerja 11 tahun gajinya Rp 5,2 juta.
Kamipun ketika mengetahui pertama kali hal tersebut heran, sementara image TV terlihatnya sangat besar, keuntungannya pasti banyak, kemana keuntungan tersebut. Frekuensi sendiri kita bisa lihat iklan-iklan Nasdem, film ini mungkin keluhan-keluhan orang terhadap apa yang terjadi pada tayangan TV kita.
Tentunya lewat cerita ada dua teman dari Lumpur Sidoarjo Suwandi dengan Pak Harto Yuwono. Kita juga bisa melihat politisasi besar-besaran, kalau tidak untuk kepentingan politik ya untuk kepentingan bisnisnya, bagaimana Viva Grup yaitu Anteve, TV One. Bisa dikatakan kalau menurut saya mungkin framing, angle-angle itu bagaimana dibuat seolah berpihak pada mereka, terlihatnya seperti itu untuk kepentingan mereka.
Jadi kepentingan menyalur dalam berita, tentang 12 konglomerasi media ada disini tapi tidak begitu banyak maksudnya kita buat grafisnya, ada wajah-wajahnya tapi grafisnya saja. Karena tidak mau terlalu menggurui, kita akan lihat melalui kisah.
Apakah di film ini juga memberikan solusi terhadap kondisi seperti ini?
Di filmnya tidak ada solusi. Akhir filmnya menyedihkan, ada drama dalam film ini, kehidupan yang kalau teman-teman mengikuti kisah Hari Suwandi, Harto Wiyono akan tahu bagaimana akhirnya, kalau teman-teman juga mengikuti kisah Luviana akan tahu akhirnya.
Film ini akan meng-capture hanya bagian itu saja, solusi di dalam film ini saya tidak memaparkan solusi. Karena pertama solusi harus dicari melalui diskusi, sosialisasi, kesadaran karena dalam film ini mesti ada data dari CIPG dan AJI yang menyatakan setiap minggunya ratusan media online masih terus bermunculan dengan nama-nama yang bermacam-macam.
Seperti kitana.com dan mereka mengatakan portal-portal seperti itu, sekarang ada konvergensi satu media harus bekerja untuk tiga, tidak dibahas dalam film ini tapi itu efek dari konglomerasi media. Lebih memaparkan apa yang terjadi daripada solusi-solusi, apa yang terjadi kalau misalnya tidak ada keragaman kepemilikan, ini kalau teman-teman pers atau yang bergelut di bidang media ini kalimat-kalimat klise dan basi tapi yang paling mengerikan, jurnalis sendiri mungkin tidak sadar.
Yang diinginkan adalah kesadaran, misalnya respon bagaimana orang melihat film ini. Justru mereka orang-orang yang ada dalam mesin industri televisi kita itu sendiri yang harus bicara, dari dalam dengan orang-orang seperti Luviana.
Kalau masyarakat ingin menyaksikan film ini dimana bisa menyaksikannya? Apakah bisa ditonton di bioskop-bioskop yang ada?
Kita ini dokumenter independen, bagian dari proyek Cipta Media Bersama ada AJI, Wikimedia, ICT Watch semacam pemantau internet sehat bagaimana di Indonesia. Budget sangat terbatas, undangan sangat terbatas kita sewa di Blitz Megaplex untuk menyatakan ke teman-teman kalau kerja kita setahun sudah selesai, kita akan lihat bersama filmnya.
Jadi masyarakat umum kalau melihatnya saat ini tidak bisa, tapi setelahnya kita ada offline distribusi berupa roadshow, nanti ada online distribusi juga. Jadi kita akan mengunggah film ini dan semua orang boleh menyaksikan, cuma belajar dari beberapa film, misalnya dari kasus The Act of Killing film jagal, untuk sementara kita akan mengatur bagaimana proses penaikannya secara online.
Karena kalau online kita melihat sendiri-sendiri, tidak terjadi diskusi, kita ingin orang datang dulu melihat dibikin nonton bersama, ada diskusi setelahnya. Umum di Jakarta kita akan screening film di beberapa tempat, yang kami list belum tentu akan terjadi, kita menginginkan misalnya di Salihara, kita ingin misalnya di Utan Kayu untuk teman-teman KBR68H dan Green Radio, seluruh AJI Indonesia.
Ini akan dipakai bebas untuk misalnya Komisi Penyiaran Indonesia untuk advokasinya, akan dipakai bebas oleh lembaga-lembaga media yang seperti itu. Kita juga akan memutarnya di kampus-kampus yang memiliki fakultas komunikasi jurusan jurnalistik.
Film Di Balik Frekuensi, Mempertanyakan untuk Siapa Media Ada
Belasan grup mengendalikan ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi media di Indonesia. Nah, untuk seluruh televisi di negeri ini hanya hanya dimiliki oleh lima orang saja. Sebut saja Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki

BERITA
Jumat, 18 Jan 2013 10:29 WIB


Film Di Balik Frekuensi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai