KBR68H- Kasus kekerasan psikologis terjadi pada perempuan tak pernah berhenti. Kasus teranyar, tak tanggung-tanggung pelakunya adalah seorang bupati yakni Bupati Garut Aceng Fikri. Ia menceraikan wanita setelah menikah selama 4 hari dengan alasan yang melecehkan perempuan itu.
Merujuk kasus ini, kaum perempuan masih kerap kali menjadi korban kekerasan; tidak hanya secara fisik namun juga psikologis. Setiap tahunnya kekerasan pada perempuan meningkat. Pada tahun lalu saja, kekerasan terhadap perempuan mencapai 119 ribuan kasus. Jumlah itu meningkat dibadingkan tahun 2010 yang mencapai 105 ribuan kasus.
Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, angka 119 ribuan kasus tersebut, sebetulnya tidak mewakili data kongkret di lapangan. Bisa jadi, jumlah di lapangan lebih besar. Pasalnya, banyak dari kasus-kasus kekerasan yang tidak terlaporkan, teradukan atau terdeteksi. “Iya karena itu data yang dilaporkan dan ditangani oleh komnas perempuan, dan bahkan ada yang tidak dilaporkan”, kata Yuniyanti Chuzaifah.
Papua misalnya, kata Yuni, data Komnas Perempuan mencatat, kekerasan terhadap perempuan nihil, karena banyak perempuan yang mencabut kasusnya di tengah jalan, atau bahkan tidak dilaporkan sama sekali. Kebanyakan mereka memilih menyeleseikan masalah di luar hukum, yakni menggunakan adat di tempat mereka tinggal. Masalah geografis dan kemiskinan, juga menjadi faktor utama terhambatnya akses keadilan untuk perempuan.
Menurut Yani, semakin hari keberanian perempuan dalam mengungkap kasus kekerasan semakin besar. Mereka dengan lantang menggugat siapapun, tanpa pandang bulu, termasuk pejabat ataupun pemuka agama. “Mau Bupati, tokoh agama, dosen, dukun di daerah manapun, banyak perempuan berani menggugat,”tuturnya.
Keberadaan Undang-Undang PKDRT
Yuniyanti Chuzaifah menilai, keberanian perempuan lainnya, yang mengadukan kepada publik, juga menjadi rule model bagi perempuan lainnya untuk maju mendapatkan keadilan. Hingga kini, Undang-Undang PKDRT dinilai belum konkret. Yang paling jelas, dana untuk lembaga layanan atau untuk dukungan korban, yang sekarang dibebankan ke daerah, masih sangat rendah. Padahal, tidak setiap pemda sadar gender.
”Dari 10 wilayah, ada tiga daerah di tahun depan, yang tidak mengalokasikan dananya, untuk layanan atau dukungan korban,”jelas Yani
Selain permasalahan di atas, isu-isu kekerasan perempuan, juga tak populer dan diprioritaskan di beberapa daerah, termasuk soal dana. Pasalnya, tergeser isu-isu trafficking dan korupsi. Padahal, harusnya isu kekerasan perempuan juga menjadi tanggung jawab negara, yang mesti diprioritaskan. Di beberapa wilayah bahkan, banyak pemdanya yang tak mengetahui berapa jumlah kekerasan yang terjadi.
“Kita tanya pemda, sering menjawab, rasanya Cuma sedikit, lalu ketika kita sodorkan data komnas perempuan, mereka terkejut.” Kata Yuni.
Adanya UU PKDRT, memang menguntungkan bagi perempuan, namun terapannya di daerah-daerah belum maksimal. “Mungkin kalau bilang pengabaian total, saya kira tidak, tetapi UU tersebut tidak menjadi upaya sinergis dan komperhensif,” jelas Yuni.
Peningkatan Kesadaran Perempuan
Komnas perempuan sendiri terus mendorong adanya kurikulum HAM dan gender. Sebab percuma jika persfektif kalangan penegak hukum, pejabat daerah ataupun pihak yang terkait soal kekerasan perempuan rendah. Maka perlu adanya kebijakan yang memang mengarahkan dan memperdulikan masalah tersebut. Dalam 10 tahun terakhir, komnas perempuan mencatat, ada 93 ribu kasus kekerasan seksual Dan, yang mengejutkan lagi, pelakunya adalah orang-orang dekat, dan seringkali tak dilaporkan, dan menyakut pelaku pejabat publik.
Sementara, Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartikasari melihat, data meningkat ini tidak selalu berarti kasusnya meningkat. Banyak kasus lama, yang baru melaporkan kepada pihak berwajib. Dibutuhkan upaya yang cukup keras, untuk meningkatkan Keberanian dan kesadaran perempuan.
Contoh nyata, angka perkawinan anak di bawah 18 tahun, masih cukup tinggi. Hal ini pula yang menjadikan angka kekerasan perempuan terus meningkat. Pasalnya, kata Dian, kekerasan terjadi mulai dari kekerasan seksual, fisik dan lain sebagainya. Di beberapa kasus banyak juga bermula dari pakasaan orang tua dalam menikahkan anaknya di bawah umur.
Namun, banyak perempuan di desa, yang tak mengetahui, kemana mereka melapor ketika mengalami kekerasan. Untuk itu, kata Dian, pihaknya mendorong, komunitas di daerah seperti PKK, RT, Tokoh agama dan lain sebagainya. Persoalan lain, rumah aman bagi korban tak semua daerah ada, dan banyak yang tak mengetahui lokasi rumah tersebut. Selain itu, perlu adanya pendampingan pada korban, yang selama ini masih dirasa kurang.
2012, Kekerasan terhadap Perempuan Masih Tinggi
Kasus kekerasan psikologis terjadi pada perempuan tak pernah berhenti. Kasus teranyar, tak tanggung-tanggung pelakunya adalah seorang bupati yakni Bupati Garut Aceng Fikri. Ia menceraikan wanita setelah menikah selama 4 hari dengan alasan yang melecehkan

BERITA
Selasa, 08 Jan 2013 11:05 WIB


Kekerasan terhadap Perempuan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai