KBR, Jombang – Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) mendesak Pemerintahan Jokowi untuk menggunakan International People’s Tribunal 1965 ( IPT65) sebagai momentum percepatan menuntaskan Peristiwa 65 di dalam Negeri secara bermartabat. Selain itu, JIAD juga mendukung penyelenggaraan IPT 65 sebagai perwujudan dari mengupayakan tegaknya keadilan bagi siapapun yang merasa menjadi Korban Peristiwa 65-66.
Aktivis JIAD Jatim, Aan Anshori, mengatakan, Dukungan ini sekaligus berlaku bagi para pihak yang ingin membuka dan menuntaskan dugaan pelanggaran HAM Peristiwa 1948, atau peristiwa lainnya.
Menurut Aan, kejadian tersebut masih diselimuti misteri, terutama menyangkut siapa yang sesungguhnya menjadi dalang. Namun demikian, kuatnya dugaan telah terjadi pelanggaran HAM yang terstruktur, sistematis dan massif dalam berbagai bentuk, misalnya pembunuhan, penyiksaan, pengusiran, perbudakan, dan perkosaan merupakan satu hal yang tidak bisa disangkal oleh semua pihak.
“Saya kira IPT untuk kasus 1965 ini merupakan langkah kongkrit untuk mengembalikan kehormatan dan keadilan bagi korban 65 itu. Karena Pemerintah sampai saat ini belum menunjukkan upayanya yang lebih kongkrit untuk menyelesaikan kasus ini. Oleh karena beorientasi terhadap korban dan keadilan maka JIAD mendukung penuh soal ini," kata Aan Anshori, Kamis (12/11/15).
Aktivis JIAD, Aan Anshori, menyakini bahwa keadilan untuk korban 65 sejalan dengan gagasan besar Indonesia dan ajaran Islam. Dia mengajak semua pihak untuk mawas diri dan tidak terprovokasi oleh hasutan beberapa kelompok yang berniat mengadu-domba masyarakat sipil dengan cara mendengungkan kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejak dua hari lalu, berlangsung Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal) 1965 di di Den Haag, Belanda. Persidangan yang digagas para aktifis Hak Asasi Manusia ini bertujuan untuk menguji apakah telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara pada Peristiwa 1965 dan sesudahnya. Sidang menghadirkan korban, saksi, peneliti dan ahli sejarah.
Editor: Rony Sitanggang