Jeritan Warga Riau Korban Asap: Demi Allah, Ini Seperti Genosida!
"Hari ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Kepekatannya mungkin empat kali lipat dari sebelumnya. No electric, no school, no flight, no oxygen. Demi Allah, ini terasa seperti genosida."

Ilustrasi. Kabut asap menyelimuti Pekanbaru. (Foto: Amel Marzain)
KBR, Jakarta - Penderitaan warga Riau dan sekitarnya akibat musibah kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan tak kunjung reda. Meski sudah menjerit dan menyuarakan kesengsaraan, kondisi tak banyak berubah.
Pagi ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Warga kembali menjerit melalui berbagai saluran, termasuk broadcast media sosial dan jaringan selular.
Seorang warga Riau, Afni Zulkifli mengirim kabar tentang kondisi pagi ini di Riau.
"Hari ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Kepekatannya mungkin empat kali lipat dari sebelumnya. No electric, no school, no flight, no oxygen. Demi Allah, ini terasa seperti genosida," jerit Afni.
Sudah sekitar sebulan aktivitas pendidikan di Riau diliburkan. Kondisi asap yang pekat sangat membahayakan. Berdasarkan pantauan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dari BMKG Riau, tingkat pencemaran udara terakhir sudah jauh di atas level berbahaya, mencapai angka 700-an PSI (particular standar index), atau dua kali lipat dari level berbahaya di angka 300.
"Negara sedang membunuh 6,3 juta rakyat Riau pelan-pelan. Kami cuma diberi masker kue, bukan masker standar sesuai status tanggap darurat bencana. Kualitas udara bukan lagi berbahaya, tapi sudah merusak bahkan membunuh!" kata Afni.
Afni Zulkifli dalam perjalanan dari Siak, tempat tinggal orang tuanya, pulang menuju Pekanbaru. Ia menumpang angkutan speedboat lewat Sungai Siak.
"Ini jalur internasional, tapi jarak pandang hanya sekitar 5-10 meter saja. Kita tidak tahu apa yang ada di depan sana. Perahu lain, kayu terapung, dan lain-lain. Berbahaya sekali," kata Afni ketika dihubungi KBR lewat sambungan telepon, Selasa (6/10).
Sudah dua bulan ini Afni tidak melihat sinar matahari. Perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan media itu pun menceritakan, ia melihat banyak bayi dan balita bibirnya membiru karena kekurangan oksigen.
"Keponakan manajer saya meninggal karena asap. Dokter sudah bilang itu pneumonia, salah satu penyakit yang disebabkan karena asap. Banyak orang lagi megap-megap kekurangan oksigen, terutama bayi dan balita. Negara dimana?" keluh Afni.
"Pak Jokowi, jangan gengsi kalau tidak mampu menangani kabut asap ini. Minta bantuan luar negeri. Jangan membuat kami mati begini," katanya.
Lewat broadcast, Afni menulis sudah lebih dari 55 ribu orang tumbang terserang sesak nafas karena asap. "Partikel berbahaya ini sudah dua bulan kami hirup tanpa henti, 24 jam setiap hari... Jika tak bisa sama-sama mendesak pemerintah turun tangan, tolong doakan kami masih tetap bernafas esok hari. Kami masih melawan azab asap!" jeritnya.
"Yang kami butuhkan saat ini hanya satu, Pak Jokowi: oksigen," kata Afni.
Informasi terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedikitnya ada lima orang meninggal karena polusi asap.
Pagi ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Warga kembali menjerit melalui berbagai saluran, termasuk broadcast media sosial dan jaringan selular.
Seorang warga Riau, Afni Zulkifli mengirim kabar tentang kondisi pagi ini di Riau.
"Hari ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Kepekatannya mungkin empat kali lipat dari sebelumnya. No electric, no school, no flight, no oxygen. Demi Allah, ini terasa seperti genosida," jerit Afni.
Sudah sekitar sebulan aktivitas pendidikan di Riau diliburkan. Kondisi asap yang pekat sangat membahayakan. Berdasarkan pantauan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dari BMKG Riau, tingkat pencemaran udara terakhir sudah jauh di atas level berbahaya, mencapai angka 700-an PSI (particular standar index), atau dua kali lipat dari level berbahaya di angka 300.
"Negara sedang membunuh 6,3 juta rakyat Riau pelan-pelan. Kami cuma diberi masker kue, bukan masker standar sesuai status tanggap darurat bencana. Kualitas udara bukan lagi berbahaya, tapi sudah merusak bahkan membunuh!" kata Afni.
Afni Zulkifli dalam perjalanan dari Siak, tempat tinggal orang tuanya, pulang menuju Pekanbaru. Ia menumpang angkutan speedboat lewat Sungai Siak.
"Ini jalur internasional, tapi jarak pandang hanya sekitar 5-10 meter saja. Kita tidak tahu apa yang ada di depan sana. Perahu lain, kayu terapung, dan lain-lain. Berbahaya sekali," kata Afni ketika dihubungi KBR lewat sambungan telepon, Selasa (6/10).
Sudah dua bulan ini Afni tidak melihat sinar matahari. Perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan media itu pun menceritakan, ia melihat banyak bayi dan balita bibirnya membiru karena kekurangan oksigen.
"Keponakan manajer saya meninggal karena asap. Dokter sudah bilang itu pneumonia, salah satu penyakit yang disebabkan karena asap. Banyak orang lagi megap-megap kekurangan oksigen, terutama bayi dan balita. Negara dimana?" keluh Afni.
"Pak Jokowi, jangan gengsi kalau tidak mampu menangani kabut asap ini. Minta bantuan luar negeri. Jangan membuat kami mati begini," katanya.
Lewat broadcast, Afni menulis sudah lebih dari 55 ribu orang tumbang terserang sesak nafas karena asap. "Partikel berbahaya ini sudah dua bulan kami hirup tanpa henti, 24 jam setiap hari... Jika tak bisa sama-sama mendesak pemerintah turun tangan, tolong doakan kami masih tetap bernafas esok hari. Kami masih melawan azab asap!" jeritnya.
"Yang kami butuhkan saat ini hanya satu, Pak Jokowi: oksigen," kata Afni.
Informasi terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedikitnya ada lima orang meninggal karena polusi asap.
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai