KBR, Jakarta - Sekitar tiga ton tomat yang dijual petani tomat dari Bandung di halaman parkir
gedung Kementerian Perdagangan laris manis diserbu pegawai.
Menteri Perdagangan Thomas Lembong
ikut memborong dua kantong berisi 10 kilogram tomat. Menteri yang baru dilantik pekan
lalu tersebut mengatakan akan memikirkan langkah jangka panjang untuk
mengoptimalkan surplus Tomat seperti dalam bentuk industri hilir.
"Surplus
tomat makin tahun makin besar, selayaknya kita pelajari apa yang bisa kita
lakukan untuk membantu. Apakah kita bekerja sama dengan BKPM untuk cari
investor untuk bikin pabrik pengolahan," kata Lembong.
Tomat yang
dijual petani di Kementerian Perdagangan ini sudah dikemas dalam kantong plastik
yang berisi 5 kilogram dan dijual dengan harga 20.000. Berarti
tomat dijual Rp.
4.000
rupiah perkilo,
padahal biasanya dijual Rp. 8.000- Rp. 9.000 per kilogram.
Andri, salah
satu petani dari kelompok Tani Mekar Sari di Pengalengan
Bandung mengatakan anjloknya
harga tomat memang sudah sering terjadi. Tapi hal itu tetap dilanjutkan begitu saja karena tak punya
keahlian yang lain untuk
pengolahan.
Para pedagang membeli tomat dari petani rata-rata Rp500 per kilogram. Selama ini jika panen yang berlimpah, tomat dibagikan ke masyarakat sekitar. Ia berharap pemerintah mampu untuk menyerap panen dari
petani sehingga petani tak merugi.
Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina mengatakan, selain penjualan langsung ke
beberapa Kementerian, industri pengolahan yang membutuhkan bahan baku tomat
tomat seperti Indofood sudah menyanggupi untuk menyerap 5 ton perbulan langsung
dari petani.
Selain itu pengusaha retail modern siap untuk menyerap langsung
dan akan membuat bazar agar lebih banyak lagi konsumen. Retail modern tersebut
di antaranya Carrefour, Giant dan Hypermart.
"Jangka
menengahnya kita harus membangun industri pengolahan. Karena kita selalu
surplus. Setiap tahun itu rata-rata, produksi kita 916 ribu ton sementara
kebutuhan hanya 520 ribu ton sehingga surplus hingga 400an ribu ton Pertahun,"
kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina.
Editor: Agus Luqman