KBR, Jakarta - Pansel KPK pertanyakan Alexander Marwata mengapa sering memberikan opini berbeda dalam kasus korupsi yang kontroversial. Padahal ini menimbulkan kesan bahwa ia tak peduli dengan rasa keadilan masyarakat dan lebih memperhatikan terdakwa. Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut mengatakan dalam memutus perkara, ia selalu berpegang pada fakta-fakta di pengadilan. Meski di luar pegadilan, desakan untuk memberikan hukuman yang berat kepada terdakwa begitu besar.
“Saya sebagai hakim tidak bisa memutus berdasarkan fakta-fakta di luar persidangan. Misalnya opini koran dan berita-berita. Kan harus semua disajikan di persidangan. Orang bisa ngomong apa saja di luar. Tapi fakta di persidangan bagaimana? Saya tidak bisa seperti itu, “kata Calon pimpinan KPK, Alexander Marwata dalam wawancara terbuka di depan pansel KPK.
Karena itulah, Alexander menambahkan, kualitas dakwaan akan menjadi perhatian besar jika terpilih menjadi pemimpin KPK. Meski begitu jika terpilih menjadi pimpinan KPK, ia juga siap mengubah pola pikir dari yang sebelumnya berhak berbeda pendapat menjadi komisioner KPK yang sifatnya collective collegial.
Alexander sebelumnya berbeda pendapat dalam kasus suap Pilkada Lebak Banten dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah yang saat itu menjadi Gubernur Banten. Menurut Alex, Atut tidak terbukti melakukan korupsi dan harus dibebaskan.
Meski begitu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Atut dengan hukuman penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan. Ia dianggap bersalah menyuap Rp 1 miliar bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui pengacara Susi Tur Andayani. Namun kemudian Mahkamah Agung memperberat hukuman Atut menjadi tujuh tahun penjara di tingkat banding.
Editor: Rony Sitanggang