KBR, Jakarta- Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menyebut pengawasan bidan seharusnya berada di bawah Dinas Kesehatan di wilayah kerja bidan. Kata Ketua II IBI, Yetty Leoni Irawan seharusnya ada laporan bidan kepada Dinkes setempat mengenai jumlah anak yang divaksinnya, jenis vaksin yang dipakai serta sumber vaksin.
Menurut Yetty, bidan dapat mengakses obat atau vaksin dari manapun sumbernya, tanpa harus melalui Dinas Kesehatan.
"Biasanya bisa dengan produsen vaksin boleh, tapi ia setiap bulan melaporkan sekian bayi yang divaksin yang digunakan obat apa dan dapat dari mana itu dilaporkan itu, ke puskesmas dan dinas kesehatan. (Artinya sebenarnya kalau tidak beli ke produsen pun tidak apa-apa? Tidak ada ketentuan?) Tidak apa-apa, tidak ada ketentuan harus beli di produsen ini, tidak ada ketentuan. (Jadi bebas dari manapun dia bisa akses?) Bisa," ungkap Yetty kepada KBR (30/6/2016)
Yetty menambahkan, seorang bidan yang secara sengaja menyuntikkan vaksin palsu, telah melanggar kode etik profesi karena salah satu pelayanan yang diberikan bidan seharusnya adalah meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Sementara bidan yang melanggar sumpah itu, menurutnya justru berdampak bahaya. Ia menilai apa yang dilakukan bidan itu adalah tindakan kriminal, dan seharusnya izinnya dicabut. Dengan kejadian ini, kata Yetty, akses bidan terhadap vaksin yang akan dipakainya akan diperketat dan harus kembali melalui Dinas Kesehatan.
"Jadi saya kira nanti mungkin pemerintah akan lebih ketat lagi seperti dulu lagi, kalau dulu kan tidak bisa langsung. Kita harus ke Puskesmas minta baru dikasih. (kalau perorangan? Iya perorangan. Ya jaman dulu begitu tidak bisa order sendiri. (bisa order sendirinya sejak kapan?) Sejak kapan ya, saya juga tidak tahu juga sejak kapan. Tapi mungkin kan penduduk kita banyak dan negara kita terlalu luas sampai kecil-kecil, jadi mungkin dipikirkan pilihannya orang boleh ambil tapi memberi laporan atau lama nggak kena-kena vaksin karena tempatnya jauh. Nah itu juga jadi pertimbangan. (Tapi ambilnya pun bebas ternyata tidak harus di dinkes ya bu?) Tidak harus," paparnya
Baca juga:
- Vaksin Palsu, Polisi Tetapkan Bidan Sebagai Tersangka
- Vaksin Palsu, Bio Farma: Distribusi Rutin Diaudit
Bareskrim Polri telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus pembuatan dan penyebaran vaksin palsu. Mereka terdiri dari tujuh orang produsen, yakni produsen dari Tangerang berinisial P dan S, produsen dari Bekasi Timur berinisial HS, produsen dari Kemang Regency Bekasi berinisial R dan H, produsen dari subang berinisial N dan S.
Kemudian tersangka lainnya yakni, Direktur CV Azka Medical Bekasi berinisial J, penjual di Apotek Rakyat Ibnu Sina Jakarta Timur berinisial MF, tiga orang kurir, satu orang dari percetakan, dua orang distributor di Semarang, dan satu distributor yang ditangkap di Jakarta Timur.
Para tersangka dikenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Selain itu, semua tersangka juga dikenakan Undang-Undang perlindungan konsumen dan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Berdasarkan hasil penangkapan, sejauh ini diketahui ada empat pabrik pembuat vaksin palsu, yakni di Bintaro, Bekasi Timur
dan Kemang Regency dan Subang. Vaksin palsu ini disebar ke beberapa daerah seperti Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Medan, Aceh dan daerah
lainnya.