KBR, Jakarta - Masyarakat Suku Kamoro di Kabupaten Mimika Papua menyatakan tak tergiur dengan janji manis pembangunan smelter di wilayahnya bakal menyejahterakan masyarakat.
John Nakiayi dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamaro (Lemasko) mengatakan masyarakat Suku Kamaro bertahun-tahun mengalami mengalami trauma.
Mereka awalnya dijanjikan pemerintah akan kesejahteran sehingga melepaskan ribuan hektar tanah untuk dialiri tailing PT. Freeport. Ternyata janji itu banyak yang tidak bisa dipenuhi bahkan lingkungan hancur. Sehinga masyarakat di lima kampung harus dipindahkan ke tempat lain.
“Melihat pengalaman yang lalu sampai yang sekarang, kerusakan akibat Freeport di sana itu menyebabkan warga demo terus menerus. Masyakat asli juga masyarakat Papua yang lain menuntut supaya dua suku besar di Mimika maupun Papua lainnya mendapat prioritas. Tapi perusahaan (Freeport) selalu beralasan butuh orang yang punya skill," kata John Nakiayi dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamaro (Lemasko) di Jakarta.
Sebagai upaya menolak dibangunnya smelter, Suku Kamaro telah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait. Mereka mendesak supaya rencana pembangunan smelter itu dibatalkan.
Suku Kamaro juga mengirim suarat kepada Komisi Energi DPR dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil meminta dilakukan audiensi dengan masyarakat adat.
Wilayah adat Kamaro sebagian besar adalah pesisir yang kaya dengan hutan mangrove, sagu dan ikan yang menjadi sumber kehidupan. Sehingga pembangunan smelter diyakini akan menghancurkan kelangsungan hidup masyarakat.
Editor: Agus Luqman