KBR, Jakarta- Tim perumus hasil Simposium Peristiwa 1965 telah sepakat untuk merekomendasikan rehabilitasi umum dalam kasus 1965, baik sebelum mau pun sesudah peristiwa tersebut. Salah seorang anggota tim perumus, Suryo Susilo mengatakan, rehabilitasi umum tidak hanya diberikan kepada korban dari Partai Komunis Indonesia, tapi juga kepada korban yang jatuh pada peristiwa 1948.
Suryo menjelaskan, tim perumus menganggap peristiwa 1965 tidak berdiri sendiri. Melainkan ada hubungan sebab-akibat pada peristiwa 1948. Saat itu, banyak pejabat pemerintahan, dan tentara yang diduga dibunuh anggota PKI.
"Kejadian itu tidak berdiri sendiri, artinya sebab-akibat. Selain itu, di kedua belah pihak juga ada korban. Sebelum peristiwa 1965, banyak pejabat dibunuh; lurah, camat, yang dianggap tidak sesuai dengan garis partai. Selain itu, TNI juga ada yang dibunuh, dan itu puncaknya pada 1 Oktober 1965," katanya saat diwawancara KBR, Kamis (05/19).
Selain itu ia menambahkan, untuk melakukan rehabilitasi umum, pemerintah juga perlu membentuk tim ad-hoc untuk mendata orang-orang yang akan direhabilitasi itu.
"Tapi mengenai mekanismenya seperti apa, kami serahkan sepenuhnya kepada pemerintah," ujarnya.
Tim perumus juga merekomendasikan agar negara menyampaikan penyesalan terhadap peristiwa itu. Selain itu, tim perumus juga merekomendasikan agar pemerintah menghapus aturan diskriminatif, terkait orang-orang yang dituding terlibat dengan PKI.
Peristiwa 48 Disertakan, Asvi: Itu Tak Sebanding
Sementara itu sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Marwan Adam mengatakan penyertaan peristiwa Madiun 1948 dalam penyelesaian tragedi 1965, tidak sebanding. Asvi mengatakan, ketidaksebandingan itu karena konteks dan jumlah korban kedua peristiwa itu sangat berbeda. Selain itu, kata dia, kedua peristiwa itu bukan ajang balas dendam.
"(Peristiwa-red) 48 apa hubungannya secara langsung dengan 65? Tidak ada. Tetapi sebelum tahun 65, misalnya 64, kekerasan-kekerasan itu ada. Saya sendiri menyayangkan, kenapa dia dendam terus. Ya orang PKI pernah melakukan kesalahan pada tahun 48, kan sudah dibalas tahun 65. Tetapi kan konteksnya lain. Berapa sebetulnya korban tahun 48? Tidak sampai ribuan. Sedangkan yang tahun 65, setengah juta, paling tidak. Itu peristiwanya tidak sebanding," kata Asvi kepada KBR, Kamis (19/05/16).
Teliti Kasus 60
Asvi menambahkan tragedi 65 memang bisa diteliti sejak tahun-tahun sebelumnya. Namun, kata dia, periode yang diteliti cukup sejak tahun 1960. Pada masa itu, Partai Komunis Indonesia menjalankan "aksi sepihak" dengan menjalankan Undang-Undang Pokok Agraria tentang pembagian tanah secara adil. Aksi sepihak itulah yang kemudian memancing konflik PKI dengan tuan tanah yang tidak terima tanahnya dirampas untuk kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat. Situasi itu kemudian diperburuk dengan keterlibatan militer di dalamnya, hingga terjadi konflik antara PKI dan militer.
Apabila dibandingkan dengan peristiwa 48, kata Asvi, tragedi 65 sudah terlalu jauh. Selain itu, kata dia, latar belakang peristiwa 48 masih sangat berkabut dan cenderung berupa konflik horisontal. Apalagi, sampai sekarang peristiwa Madiun 48 masih sangat jauh dari kata rampung. Sehingga, menurutnya, lebih baik pemerintah mendorong penelitian tentang peristiwa itu terlebih dulu, misalnya dengan membentuk komite pengungkap kebenaran 48.
Baca juga:
Editor: Dimas Rizky