KBR, Jakarta– Bekas anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalyon 530/Para Brigade III Kodam Brawijaya Suparno menyatakan ketidakadilan yang dia alami pada 1965. Suparno berkisah, dia ditahan tanpa pengadilan dan alasan yang jelas, hingga akhirnya dituding sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.
Suparno berujar, kehidupan keluarganya hancur karena stigma komunis yang diberikan masyarakat padanya.
“Saya ditahan selama lima tahun. Pada tahun 1970 saya dilepas dengan status tahanan politik militer. Saya ditahan lima tahun tidak pernah diadili, salah saya apa? Padahal, keberangkatan batalyon saya atas perintah Pangkostrad. Ini pengakuan dari Wadalyon saya yang memimpin pasukan dari Madiun ke Jakarta. Beliau juga ditahan sepuluh tahun, tapi kenapa disubsidi Rp 7,7 juta, bahkan dipensiun lagi. Hak saya ke mana?” kata Suparno dalam Simposium Nasional Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Senin (18/04/16).
Suparno mengatakan, dia dituduh bergerak ke Jakarta tanpa perintah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Padahal, kata dia, keberangkatan batalyonnya ke Jakarta sudah sesuai prosedur. Suparno mengatakan, dia yang seorang Kopral II dan lulusan sekolah dasar tidak mungkin bisa menggantikan perwira letnan satu yang menjadi perwira kepala bagian, untuk memberikan komando pemberangkatan batalyon ke Jakarta.
Suparno mengatakan, kehancuran itu diawali dengan ketidakmampuannya menafkahi keluarganya. Dia mengatakan, dia bahkan tidak memiliki uang untuk membeli makanan karena karir militernya mandek. Kemudian, dia harus rela menyerahkan istrinya kepada orang lain, bahkan menikahkannya di depan penghulu. Selain itu, sekolah anak-anaknya juga berantakan, karena tidak kuat menerima hinaan teman-temannya yang menyebut mereka “anak PKI” setiap bersekolah.
Sejawaran Asvi Warman Adam mengatakan, pemberian sanksi yang berbeda-beda menunjukkan ketidakadilan di intern TNI. Kata dia, kedekatan prajurit dengan seorang perwira atau jenderal akan memberikan keuntungan bagi prajurit.
“Di dalam persoalan itu kan banyak juga ketidakadilan dan banyak kasus, ada yang menyogok, ada yang hubungan saudara, dan lain-lain. Sehingga hukuman itu juga tidak sama, ditahan ya karena tidak lewat pengadilan. Ada yang ditahan kok cuma lima tahun, ada yang dua belas tahun. Sangat sesukanya. Dan faktor-faktor, mungkin waktu itu bukan menyogok ya, tapi hubungan saudara sangat membantu di banyak kasus,” kata Asvi.
Hari ini hingga besok, digelar simposium nasional untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada tragedi 1965. Pada simposium itu, salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui jalur nonyudisial atau rehabilitasi. Jika menggunakan metode rehabilitasi, berarti pemerintah harus membersihkan nama korban yang selama ini dianggap terlibat dalam Tragedi 1965.
Editor: Rony Sitanggang