Bagikan:

Simposium Tragedi 1965, Sastrawan Lekra: Pengadilan Untuk Pembelajaran Bukan Penghukuman

“Agar pemerintah bersama komponen bangsa lainnya membuat rancangan dan melaksanakannya upaya penyembuhan tragedi kemanusiaan itu."

BERITA | NASIONAL

Selasa, 19 Apr 2016 18:56 WIB

Author

Dian Kurniati

Simposium Tragedi 1965, Sastrawan Lekra: Pengadilan Untuk Pembelajaran Bukan Penghukuman

Sastrawan Putu Oka Sukanta saat membacakan puisi dalam Simposium Nasional Tragedi 1965. (Sumber: Youtube)

KBR, Jakarta– Sastrawan Putu Oka Sukanta mengusulkan lima poin sebagai rekomendasi hasil simposium tragedi 1965. Putu mengatakan, penyelesaian masalah 1965 tidak mungkin diselesaikan secara instan, tetapi harus mencakup semua aspek di masyarakat.

“Agar pemerintah bersama komponen bangsa lainnya membuat rancangan dan melaksanakannya upaya penyembuhan tragedi kemanusiaan itu. Upaya-upaya tersebut tentu akan dilakukan bertahap selangkah demi selangkah. Jadi kebijakan yang dilandasi oleh niat baik dapat meliputi aspek-aspek politis, yudisial, dan kultural dalam rangka pembangunan bangsa,” kata Putu di Hotel Aryaduta, Selasa (19/04/16).

Putu mengatakan, lima usulan itu yakni pertama, pemerintah sebagai wakil negara mengklarifikasi peristiwa yang berlangsung pada 1 Oktober 1965 dini hari di Lubang Buaya. Dia berujar, klarifikasi itu untuk meluruskan peristiwa yang berlangsung di sana, termasuk isu tarian harum bunga dan mutilasi organ tubuh jenderal. Kedua, negara harus mengakui peristiwa yang terjadi saat itu sebagai sebuah kesalahan dan mencabut peraturan-peraturan diskriminatif, misalnya untuk eks tahanan politik. Ketiga, menyatakan penyesalan atas peristiwa itu karena proses “penyembuhan” para korban masih berlangsung sampai sekarang. Keempat, menyelenggarakan rehabilitasi untuk semua orang yang pernah dimarjinalkan. Kelima, menyelenggarakan pengadilan bagi yang diduga bersalah sebagai sebuah proses pembelajaran, bukan sebatas pemberian hukuman.

Putu berujar, peristiwa 1965 menyisakan trauma dalam dirinya. Putu mengatakan, dia sering teringat pengalaman yang dia alami saat menjadi tahanan politik selama 10 tahun tanpa proses hukum lantaran tudingan terlibat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kata dia, Indonesia telah kehilangan satu generasi intelektual yang dibunuh dan dihilangkan hak sipilnya, hingga berlarut pada generasi kedua yang tidak mampu keluar dari trauma atas peristiwa itu. Kata dia, negara harus memberikan ruang pembelajaran untuk menyembuhkan luka itu.

Sejak kemarin, digelar simposium nasional untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada tragedi 1965. Pada akhir acara nanti, simposium ini akan menghasilkan rekomendasi untuk pemerintah agar segera penyelesaikan tragedi pelanggaran ham berat tahun 1965.


Editor: Rony Sitanggang

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending