KBR, Jakarta– Anak keempat Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) DN. Aidit, Ilham Aidit menyatakan proses rekonsiliasi tragedi 1965 tidak sebatas saling memaafkan antara korban dan pelaku. Ilham mengatakan, masih ada proses setelah saling memaafkan, yaitu menggunakan sebagai proses pembelajaran agar tidak terjadi hal serupa di masa datang.
“Salah satu yang menjadi polemik rekonsiliasi adalah ketika kita memaksa kepala kita untuk melihat masa lalu, membahas masa lalu, dengan segala dinamikanya, dan kemudian mengambil pelajaran dari masa lalu untuk masa depan. Jadi saya pikir adalah salah kalau orang bicara rekonsiliasi, hanya mengatakan sudahlah berdamai untuk masa depan. Itu kosong. Atau dengan bahasa yang lain, sing wis yo wis (yang lalu biarlah berlalu). Itu lucu, karena sing wis yo wis, hanya boleh diucapkan oleh korban, bukan oleh pelaku,” kata Ilham di Hotel Aryaduta, Senin (18/04/16).
Ilham mengatakan, proses rekonsiliasi sangat rumit dan tidak sebatas melupakan masa lalu. Ilham mengilustrasikannya dengan menampar seseorang. Dia berkata, tidak patut orang yang menampar berkata “Sing wis yo wis,” karena yang layak berkata demikian ada korban. Kata dia, jika korban memaafkannya pun, pemaafan itu hanya bersifat personal.
Kini, kata Ilham, korban tragedi 1965 sudah meninggalkan proses yudisial karena prosesnya sulit dan panjang. Sehingga, kata dia, korban 1965 lebih memilih rekonsiliasi. Meski begitu, proses rekonsiliasi juga rumit dan memiliki empat prasayarat sebelum rekonsiliasi terjalin. Pertama, pengakuan atas perbuatan. Ilham berujar, pemerintah yang mewakili negara harus mengakui peristiwa 1965 sebagai sebuah kesalahan karena itu adalah konflik vertikal. Kata dia, saat itu negara secara sengaja dan sistematis menjalankan praktik genosida. Kedua, harus ada penjelasan peristiwa 1965 secara menyeluruh atau pelurusan sejarah demi pewarisan pengetahuan sejarah yang benar untuk generasi mendatang. Ketiga, pemerintah harus menyatakan merasa bersalah di depan publik dan menyampaikan permintaan maafnya kepada korban. Keempat, kata Ilham, proses baru bisa memasuki rehabilitasi, reparasi, kompensasi, restitusi, dan sebagainya.
Ilham mengatakan, prinsip dasar rekonsiliasi sejati harus dimulai dengan pengungkapan fakta oleh pelaku dan kegetiran yang dirasakan korban, hingga kemudian ditemukan fakta kebenaran. Memang, kata Ilham, proses rekonsiliasi yang rumit itu seperti membuat konflik baru. Namun, kata dia, proses yang sulit itu harus ditempuh karena rekonsiliasi yang semu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Hari ini hingga besok, digelar simposium nasional untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada tragedi 1965. Pada simposium itu, salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui jalur nonyudisial atau rehabilitasi. Jika menggunakan metode rehabilitasi, berarti pemerintah harus membersihkan nama korban yang selama ini dianggap terlibat dalam Tragedi 1965.
Editor: Rony Sitanggang