Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengklaim menyelesaikan kasus Suku Anak Dalam Jambi yang sempat terlantar karena hilangnya lahan mereka. Menteri juga bercerita soal kasus yang membelit nenek Asyani. Berikut penjelasannya kepada KBR
Soal tim yang baru dibentuk oleh KLH kemarin itu seperti apa? sejak dibentuk dari 140an kasus yang paling banyak apa?
Sebetulnya timnya sudah bekerja sejak akhir Januari. Sudah mulai rapat-rapat, menyusun protokolnya, menyusun metode pengaduan dan sebagainya. Sambil berjalan kasusnya masuk terus. Jadi kita pakai dua model, kasus-kasus yang bisa ditangani langsung secara struktural oleh kementerian artinya ditangani oleh deputi, dirjen, dan lain-lain sampai ke lapangan itu kita selesaikan.
Misalnya yang menyangkut pencemaran atau gangguan kepada masyarakat akibat perusahaan dan lain-lain yang bisa kita lakukan kita selesaikan. Ada yang tidak bisa diselesaikan secara langsung, karena memerlukan ini kebijakannya yang bagus seperti apa. Disitulah kita membutuhkan pengarahan dari tim pengaduan yang ada tim pengarahnya.
Tim pengarahnya ini selain eselon I tertentu yang relevan dengan tugas itu juga kawan-kawan yang independen dari organisasi gerakan sosial kemasyarakatan seperti Walhi, AMAN, Sayogo Institute, Epistema, dan Greenpeace. Itu yang kita mintakan tolong menjadi tim pengarah untuk memberikan katakanlah begini lho arahnya sebetulnya yang diharapkan oleh rakyat. Karena sekarang ini kita lihat bahasanya yang harus kita dengar bahasa rakyat yang maunya rakyat seperti apa bukan maunya birokrat. Karena selama ini yang kita ikuti selalu penyelesaian menurut birokrat tiba-tiba sampai lapangan rakyatnya tidak cocok. Jadi kita belajar dari situasi-situasi itu maka ada tim ini.
Jadi dari 143 itu beberapa sudah ditengok ke lapangan sudah didatangi seperti kasus yang Samarinda, Jambi, Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan ini belum bisa selesai karena kita masih kumpulkan dan di lapangannya saya lihat masih keras. Jambi ini mudah-mudahan sudah akan selesai.
Jadi memang kelihatan sekali dari proses ini menyelesaikan masalah secara partisipatif dengan mengajak unsur-unsur masyarakat untuk menyelesaikan itu jadi jauh lebih baik. Di Jambi itu kan kita tahu ada Suku Anak Dalam, ada peristiwa dan lain-lain kami mengikuti kemudian di situ ada HTI, transmigrasinya, suku anak dalamnya tiba-tiba ada persoalan 11 orang wafat berturut-turut karena sakit dan lain-lain.
Solusinya untuk Suku Anak Dalam bagaimana?
Ada urutannya. Ketika ketahuan wafat karena sakit dan lain-lain kan Menteri Sosial turun, waktu Menteri Sosial turun itu mengontak saya lalu bertanya menyelesaikannya bagaimana. Karena Suku Anak Dalam punya mau tertentu yang tidak umum. Saya bilang yang jadi persoalan apa, ternyata kawan-kawan Suku Anak Dalam ini tidak mau di-resettlement seperti polanya Mensos. Baik kalau begitu saya bilang kembalikan pada mereka maunya bagaimana, kemudian diskusilah di lapangan baik dengan publik atau masyarakat.
Kemudian setelah itu Bu Mensos ke lokasi, disitu saya minta mendampingi kawan-kawan kami dari UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ternyata memang kawan-kawan kita Suku Anak Dalam menginginkan dia kembali ke habitat di lokasinya kira-kira yang diminta lokasi 114 hektar. Kemudian saya bilang oke kalau begitu memang kami di kehutanan ada konsep bahwa pertama kita minta komitmen dunia usaha bahwa di konsensinya itu harus dilakukan kemitraan dengan masyarakat dan harus diaktualisasikan yang selama ini beraktualisasi dengan baik.
Kemudian sudah rapat kemarin malam tanggal 18 Maret dan sudah dibicarakan. Jadi sudah diundang Bupati Batanghari, kemudian Suku Anak Dalam sendiri, ada juga LSM yang membantu yaitu Warung Informasi Konservasi. Ini juga sangat menolong karena paling tidak menjembatani bahasanya yang saya bilang. Sudah selesai dan rencananya minggu depan hari Senin rapat lagi.
Sudah selesai ini apa?
Artinya sudah ada kesepakatan bahwa 114 hektar. Mula-mula tadinya agak berat karena 114 hektar yang diminta itu seluruhnya sudah ada investasi kebun karet berusia 3 tahun dan lain-lain. Lalu saya katakan kepada dirjen, kalau sudah permintaan masyarakat ini saya bilang kalau dunia usaha harusnya lebih toleran. Jadi tidak pakai kompromi-kompromian apalagi berciri finansial, saya bilang dunia usahanya toleransi dan komitmennya. Oleh karena itu akhirnya bisa selesai 114 hektar itu akan diberikan HTI-nya kepada masyarakat Suku Anak Dalam.
Kapan itu?
Kita rapat dulu.
Dikembalikan?
Dikembalikan.
Tanpa ada syarat?
Tentu ada dalam arti misalnya administrasi, data, dan sebagainya. Saya kira syarat-syarat itu tinggal syarat teknis lapangan dan bagaimana dalam konsep kehidupan Suku Anak Dalam saja yang sudah diperhatikan pemerintah daerah.
Saya kira yang paling penting disini isinya akhirnya adalah pertama bagaimana pemerintah daerah memperhatikan itu. Kedua bagaimana caranya komitmen dunia usaha untuk memajukan bangsa ini secara bersama-sama, dia boleh maju tapi rakyat tidak boleh ketinggalan juga.
Menyangkut Nenek Asyani kemarin seperti apa?
Ini memang bentuk yang lain lagi tetapi pada dasarnya soal penegakan hukum dan keadilan. Saya memang sengaja turun ke lapangan untuk melihat beberapa hal. Pertama tentu saya harus lihat dulu jajaran Perhutani ini kenapa dan melihatnya seperti apa.
Ternyata dari sisi Perhutani sendiri dari kawan-kawan di lapangan katakanlah tim hukumnya Perhutani mereka mengatakan pada saya bahwa dia menjalankan tugas saja sesuai dengan norma. Karena menurut Undang-undang kalau ada sesuatu yang mencurigakan dan sebagainya dia harus selesaikan.
Kemudian saya mengatakan oke kalau itu situasinya Anda harusnya lihat konteksnya, jangan cuma konten bahwa ini kayu ada kecurigaan dan sebagainya. Maksudnya konteks adalah harusnya dilihat sekarang itu kan sisi keberpihakan pada masyarakatnya kan kita sekarang menonjol.
Sisi mendengar dari masyarakat apa yang sesungguhnya terjadi itu sangat penting. Jadi bukan hanya prosedur, jangan menyederhanakan sesuatu itu hanya dengan prosedur. Begitu kira-kira yang saya arahkan. Jadi kalian tidak boleh ngotot lagi sekarang, betul-betul dilihat gelombangnya. Walaupun prosedur hukumnya tidak bisa kita cederai karena sudah masuk di pengadilan. Biarkanlah cara-cara penyelesaian itu cara-cara prosedur hukumnya karena itu tidak boleh kita ganggu itu ranahnya yudikatif. Kemudian saya bertemu pak bupati, saya katakan “pak bupati, setiap ada kesulitan masyarakat itu berarti tanggung jawab pemerintah.” Karena untuk apa ada negara dan untuk apa negara dioperasikan oleh pemerintah.
Saya bilang pertama yang paling penting kenapa ada pemerintah untuk rakyat yaitu satu untuk stabilitas dan keteraturan. Kita mesti lihat lagi pada konteks ini unsur lain yaitu yang kedua untuk akses masyarakat pada sejahtera. Ketiga fungsinya pemerintah supaya rakyat itu menjadi warga negara yang terhormat.
Kalau kita lihat konteks ini maka sebetulnya pada beberapa hal ada bagian tanggung jawab pak bupati juga terhadap si Ibu Asyani ini. Sebab kalau kita lihat rumahnya memang kita sedih juga. Kemudian juga apakah sudah betul keteraturan dalam order hukum dan sebagainya, kita tidak bisa mencederai prosedur hukum yang sudah berjalan. Tetapi sekarang saya bilang berikan fakta-fakta kepada hakim, perlihatkan aspirasi masyarakat konteks ini sangat penting. Kita harus meyakini bahwa hakim juga punya nurani, dia memutuskan tidak hanya berdasarkan textbook atau yang dia pelajari dari sekolah atau buku dia pasti sudah dalam perjalanan yang sangat panjang dengan kehidupan masyarakat.
Jadi saya kira bagian itu yang harus kita bantu termasuk akses kemudahan dia pergi ke pengadilan dan sebagainya. Saya minta yang paling penting tolong dilihat sebab kemarin saya lihat listriknya juga mati, listrik mati karena tidak bayar sekian bulan. Jadi pada aspek itu intinya adalah hukum dan keadilannya harus jalan, jadi jangan proses hukumnya jalan keadilannya entah dimana. Ini yang selalu dikritik bahwa hukum itu katanya tajam ke bawah tumpul ke atas.
Jadi bentuk kehadiran negara seperti apa untuk kasus hukumnya?
Pertama sama-sama menjaga karena operatornya bukan hanya Presiden Jokowi tetapi juga Mahkamah Agung, DPR RI, peradilan, eksekutif, yudikatif itu satu kesatuan. Oleh karena itu kehadiran negara disini tentu hakim juga punya peran penting untuk melihat fakta dan memutuskan, juga melihat kondisi ibunya secara fisik, sosial, ekonomi. Juga memperhatikan kemauan publik akan peristiwa itu dan juga aspek lain di dalam hukum yang paling memungkinkan.
Di peraturan Mahkamah Agung saja ada sebetulnya. Jadi kejahatan yang dinilai di bawah Rp 2 juta harusnya tidak ditahan. Sebetulnya gambaran-gambaran bahwa kita punya problema hukum dan keadilan sebetulnya kelihatannya sudah diantisipasi juga bahwa ada kesulitan. Memang ada kebijakan-kebijakan di tingkat pusat yang di bawah belum dipahami dengan baik. Tapi kalau Ibu Asyani ini peristiwa penangkapannya kan dari bulan Juli yang kami sudah lakukan sekarang adalah di bulan Februari kami mengeluarkan edaran kepada seluruh UPT kehutanan dan lingkungan hidup kita kan punya penyidik, Polisi Hutan, satuan reaksi cepat, penyelidik lingkungan. Itu kami sudah buatkan edaran untuk mereka betul-betul pakai pendekatan yang empati, simpati, dan tidak represif.
Apakah ini bagian dari kerja tim TP2 KLHK?
Inspirasinya itu merupakan salah satu dari rekomendasi rapat. Itu ketika kita rapat pleno, kemudian diskusi lalu saya berpikir dan saya katakan kepada sekjen dan sesmen ini kelihatannya kita harus ambil langkah tahap awal adalah memberikan pemahaman kepada seluruh jajaran kita yang teknis sampai ke tengah hutan. Kan itu berat juga sampai ratusan juta hektar. Saya mendapatkan pemikiran ini selain dari plenonya tim ini, saran para anggota tim yang independen, juga fakta di lapangan masih ada.
Kadang-kadang laporan dari anak-anak sendiri kepada kami, ada masalah masyarakat masuk ke hutan bagaimana kami operasinya. Saya bilang kenapa pakai pola seperti ini sekarang kita harus sudah sesuaikan. Lalu saya beritahu pak dirjen, tidak boleh lagi istilah operasi besar-besaran dan sebagainya itu sudah tidak bisa seperti itu lagi. Kita harus sudah modifikasi dengan baik. Kan presiden mengatakan bahwa hutan itu harusnya membuat rakyat menjadi sejahtera.
Kasus yang terjadi sekarang kebanyakan konflik antara pemegang izin dengan masyarakat. Dengan hadirnya TP2 KLHK ini apakah nantinya bisa ikut turut menyelesaikan itu?
Itu termasuk bagian dari konflik yang harus kita tangani. Contohnya di Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur itu kasus-kasus sudah banyak masuk juga. Pokoknya semua konflik tenurial atau komplain masyarakat terhadap isu lingkungan dan kehutanan itu kita tangani. Cara menyelesaikannya yang berbeda, kalau yang sederhana ya diselesaikan saja oleh kantor kita tinggal beritahu turun ke lapangan lalu cek.
Kalau seperti yang Samarinda kita tidak memerlukan rekomendasi-rekomendasi yang keras dari tim pengarah yang independen ini. Karena itu secara struktural sudah jelas masalahnya ada wanprestasi perusahaan, kelengahan pemerintah daerah itu kan jelas. Jadi yang struktural seperti itu kita selesaikan secara struktural, tinggal bicara dengan wali kota dan saya sudah bertemu wali kota, tim kami juga sudah turun tinggal kita lihat lalu menyelesaikannya dengan perusahaan. Itu sebetulnya waktu kita turun ke lapangan seminggu setelah kejadian anak itu wafat polisi lagi memeriksa perusahaan. Tapi itu saja buat rasa keadilan publik kurang cukup, mereka masih gemas kok enak begitu-begitu saja.
Artinya ada pemetaan masalah ketika kasus ini dilaporkan masyarakat?
Iya betul.
Rekomendasinya untuk kasus-kasus yang besar misalnya pembakaran hutan akan dikawal seperti apa?
Kalau kebakaran hutan kelihatannya belum ada yang diadukan ke sini. Di kita kebakaran hutan yang selama 2014 cukup dahsyat ya, memang ada sejumlah perusahaan yang sedang diteliti karena dianggap melanggar hukum. Belum ada pengaduan tetapi itu dijalankan secara struktural saja karena undang-undangnya jelas. Tetapi intinya bahwa setiap pengaduan masuk lalu kita pilah.
Pertama jangan sampai hukum ini justru merusak masyarakat. Dalam arti hanya terkena kepada masyarakat kecil, itu peristiwa macam-macam dan lain-lain. Kedua dia akan lebih konseptual lagi karena yang namanya masyarakat hukum adat ini terus mau bagaimana setelah putusan Mahkamah Konstitusi 035. Saya mengatakan memang bisa kita berangkat dari identitasnya karena ketika kita bicara masyarakat hukum adat maka yang penting adalah identitasnya, artinya legal standing untuk bisa urusan apa saja termasuk ke pengadilan. Beberapa daerah sudah punya Perda tetapi perdanya tentang masyarakat hukum adat. Dibutuhkan oleh masyarakat hukum adat adalah identitas buat dianya, misalnya masyarakat hukum adat yang mana.
Kedua, melekat dengan masyarakat hukum adat ini kemudian wilayahnya yang mana. Kita membutuhkan kawan-kawan seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan lain-lain. Ketiga, kan secara fakta sekarang hampir wilayah itu selalu ada konfliknya. Kita telusuri dari sini karena identitas masyarakat hukum adat dan lain-lain kami mengerjakan bersama-sama. Jadi masyarakat hukum adat ini identitasnya, wilayahnya, konfliknya. Konfliknya ini kebanyakan sama perusahaan dan lain-lain di kawasan hutan. Tapi bagaimana lalu karakter, wilayah, model, haknya seperti apa itu Pak Mursyidan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional juga sangat concern memikirkan masalah ini dan kita sedang selesaikan. Tim yang seperti ini akan berbeda dari sebelumnya dan pengaduan sebelumnya akan ditindaklanjuti atau bagaimana?
Sebelum saya masuk saya tidak tahu ada tim untuk masyarakat adat atau tidak. Tapi setahu saya Komnas HAM sejak tahun 2001 kerja keras untuk ini, waktu itu saya Sekjen Depdagri. Saya memang mendukung yang paling memungkinkan dari tugas saya sebagai sekjen untuk Komnas HAM. Sampai sekarang yang paling keras mendukung itu Komnas HAM. Tetapi memang sekarang setelah saya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentu saya punya kapasitas yang lebih besar lagi untuk mendukung.
Jadi timnya yang sekarang ini kami sengaja melibatkan gerakan sosial kemasyarakatan. Karena banyak elemen-elemen pemikiran, riset, database yang dimiliki kawan-kawan outsider ini yang untuk bisa membantu bagaimana pemerintah memutuskan yang terbaik atau sebaiknya untuk semua. Karena kalau birokrat saja yang memutuskan dia bisa hanya pakai norma dan birokratik saja.
Paling
penting disini adalah masyarakat tahu dia punya tempat untuk mengadu.
Dia punya saluran untuk menyampaikan kepada pemerintah dan dia bisa
mengikuti karena kita ada website, SMS dan itu bisa diakses.