Reporter | : | Astri Yuanasari |
Editor | : | Friska Kalia |
Nahdlatul Ulama memanfaatkan kesenian tradisional untuk menangkal penyebaran paham radikalisme
Pertunjukan wayang dalam pagelaran Njujug Tajug di Cirebon, Jawa Barat. (Foto: KBR/ Taufik)
Rabu, 11 Desember 2019
Cirebon adalah salah satu zona merah radikalisme di Jawa Barat. Nahdlatul Ulama setempat memakai kesenian tradisional untuk menangkal penyebaran paham radikalisme. Jurnalis KBR Astri Yuana Sari melihat acara Njujug Tajug di Cirebon.
KBR, Cirebon- Tarian Ronggeng Bugis membuka pertunjukan malam itu di Desa Bulak, sekitar 1 jam berkendara dari pusat kota Cirebon, Jawa Barat. Ratusan warga berkerumun memenuhi bagian depan panggung.
Di atas panggung, 9 penari laki-laki berpenampilan seperti perempuan. Mereka menampilkan gerakan-gerakan jenaka, seperti berpura-pura jatuh. Menurut pelatih tari Doddie Yulianto, tarian ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Cirebon.
"Tari ini justru tarian yang menceritakan tentang pasukan telik sandi ataupun intelijen atau spionase era Sunan Gunung Jati yang diterjunkan dalam berbagai peristiwa penting yang pernah dilewati dalam sejarah Cirebon. Seperti penaklukan Banten, penaklukan Sunda Kelapa, Talaga, dan juga daerah Rajagaluh Majalengka," kata Doddie.
Dalam tarian ini ada beragam gerakan. Misalnya gerakan ala intel, seperti menutup mulut atau pasang telinga baik-baik. Kata Doddie, gerakan ini menggambarkan bagaimana seharusnya para pendakwah dan aktivis toleransi menyampaikan pesan damai di tengah-tengah masyarakat.
“Bagaimana telik sandi bisa mampu masuk ke dalam masyarakat, melebur. Bahkan semua nggak merasa bahwa itu sebagai pasukan intelijen. Nah kemampuan itu yang harusnya para pendakwah, para pegiat-pegiat toleransi, pegiat deradikalisasi menggunakan seperti itulah filosofinya,” ujarnya.
Pertunjukan tari Ronggeng Bugis ini adalah bagian dari acara Njujug
Tajug, yang artinya ‘Mengunjungi Musala’. Kegiatan ini diselenggarakan
Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Nahdlatul Ulama
Cirebon.
Rombongan Nujug Tajug akan berkeliling dan mengunjungi 8 desa untuk
menggelar pertunjukan. Desa Bulak ini adalah desa pertama yang
dikunjungi.
Manajer Program Njujug Tajug, Agung Firmansyah menjelaskan, ke-8 desa
itu dipilih karena punya rekam jejak buruk soal intoleransi.
“Baik itu krisis toleransi antarumat beragama maupun krisis toleransi
intraumat beragama atau yang terindikasi memiliki jaringan dengan
kelompok-kelompok ekstrimis. Nah penguatan seni dan budaya di
lokasi-lokasi tersebut kami pandang perlu dan penting agar masyarakat
mampu membentengi dirinya dari paham-paham intoleran, paham-paham
ekstrim tersebut,” kata Agung.
Selain Tari Ronggeng Bugis, warga juga bisa menikmati aneka pertunjukan
kesenian lainnya. Seperti wayang kulit. Bedanya, lakon yang dipetaskan
dibuat khusus, dengan tema keberagaman
“Kami create berjudul putri Ong Tien. Jadi menceritakan tentang salah
satu istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina. Yang kami tekankan
dalam cerita tersebut adalah tentang keberagaman, kemajemukan yang sudah
semenjak dahulu diakui di tanah Cirebon. Tenggang rasa dan keharmonisan
yang terjalin di antara bangsa-bangsa yang tinggal di Cirebon itu sudah
dicontohkan oleh Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,”
kata Agung.
penguatan seni dan budaya di lokasi-lokasi tersebut kami pandang perlu dan penting agar masyarakat mampu membentengi dirinya dari paham-paham intoleran
- Manager Program Njujug Tajuk - Agung FirmansyahKetua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, Aziz
Hakim Syaerozi mengatakan, dalam kegiatan ini warga yang berkunjung ke
musala juga ikut membersihkan tempat ibadah. Ini dilakukan untuk
menumbuhkan ruang bagi kegiatan sosial dan budaya sehingga tak ada sekat
antar warga.
“Tajug yang menjadi ikon 'sarang gerakan radikalisme', karena mereka
juga biasanya menguasai tajug-tajug dan menguasai masjid-masjid, maka
kita perlu menghubungkan bagaimana tajug ini berfungsi seperti fungsi
waktu zaman Sunan Gunung Jati. Tidak sekedar sebagai tempat beribadah,
tapi bagaimana tajug ini juga menjadi ruang bagi kegiatan sosial, baik
itu sosial ekonomi maupun sosial budaya,” katanya.
Provinsi Jawa Barat adalah juara bertahan untuk kasus intoleransi di
Indonesia. Pelaku kasus bom bunuh diri di Kantor Polresta Cirebon, JW
Marriot Jakarta dan Gereja Bethel Solo berasal dari Cirebon.
Aziz Hakim Syaerozi mengatakan, jika dilihat dari sejarah, Cirebon justru menjadi daerah yang sangat toleran. Namun tak bisa dipungkiri, Kota Cirebon yang strategis di pesisir utara Jawa membuat banyak orang singgah. Akibatnya, Cirebon rentan terhadap masuknya gagasan radikalisme.
“Kalau bicara soal sejarah maka tidak ada alasan Cirebon ini radikal, tidak ada alasan Cirebon ini intoleran. Karena para kesultanan kita terutama Sunan Gunung Jati, itu sudah memberikan contoh di tengah-tengah masyarakat Cirebon bahwa antar masyarakat baik perbedaan agama, suku maupun bahasa, ini bukan menjadi persoalan,” jelasnya.
Menurut Aziz, sikap kemanusiaan bisa dimunculkan lagi lewat kesenian tradisional.
“Jika mereka mencintai budaya, kemudian memahami pesan-pesan budaya dan seni itu, maka akan lahir masyarakat yang sangat terbuka, masyarakat yang menghargai perbedaan, dan masyarakat yang menghargai pluralitas,” kata Aziz.