Masalah muncul karena ada perbedaan dokumen ekspor yang dilaporkan Toba Pulp kepada pemerintah Indonesia pada periode 2007-2009. Hasil penelusuran tim IndonesiaLeaks menemukan fakta: jenis bahan baku yang dikirim dari Pelabuhan Belawan ke Cina adalah bleached hardwood kraft pulp (BHKP).
Ini dilihat dari laporan bulanan Perkembangan Data Ekspor Hasil Hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ada juga pada laporan ekspor Indonesia di Badan Pusat Statistik (BPS). Semua menunjukkan, ekspor bubur kayu Indonesia ke Cina pada periode itu didominasi jenis BHKP, bukan DWP.
DWP biasa dipakai untuk bahan pembuat tekstil, sementara BHKP untuk kertas.
Kejanggalan ini bisa dilihat dari penggunaan kode klasifikasi barang alias HS Code yang sudah diatur lewat aturan perdagangan internasional. HS Code produk BHKP berbeda dengan DWP.
Produk BHKP diklasifikasikan dengan nomor 4703.29.00.00, sementara bubur kertas DWP memiliki HS Code 4702.00.00.00. Data IndonesiaLeaks menemukan bahwa pelaporan data ekspor PT Toba Pulp Lestari hingga 2016 mencantumkan HS Code 4703.29.00.00 alias BHKP.
Menanggapi temuan itu, Kepala Hubungan Masyarakat PT Toba Pulp Lestari Tbk Norma Patty Handini Hutajulu berdalih dalam periode itu TPL memang memproduksi dua jenis bubur kertas, yakni BHKP dan DW.
“Di antara periode 2008-2014 tersebut, TPL ada memproduksi Pulp Kertas dan Pulp-Dissolving Grade," katanya dalam surat elektronik yang diterima tim Indonesialeaks.
Dari segi harga, kedua produk ini punya selisih cukup jauh. Perbandingan selisih harga ini bisa dilihat dengan membandingkan volume dan nilai transaksi keduanya dalam laman data perdagangan yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade). Harga bubur kertas jenis DWP sekitar USD 1,5 per kilogram atau lebih mahal 30-40 persen dibanding BHKP.
Kepala Balai Besar Pulp dan Kertas Kementerian Perindustrian, Saiful Bahri membenarkan bahwa harga DWP lebih mahal ketimbang BHKP. Perbedaan itu terjadi lantaran penggunaan produk DWP untuk bahan baku kain rayon, kosmetik dan lainnya.
“Lebih mahal dissolving karena bahan untuk rayon, prosesnya lebih lama/panjang,” katanya.
Di sisi lain, dalam laporan keuangan Sateri, perusahaan itu mengaku membeli bahan baku DWP dari DP Macao. Sementara, PT Toba Pulp, dalam laporan ke KLHK mengaku menjual produk BHKP kepada DP Macao.
Perbedaan ini membuat PT Toba Pulp terus-menerus membukukan keuntungan yang tak optimal selama periode waktu 2007-2009.
Di Indonesia, hanya ada dua perusahaan yang bisa membuat DWP, yakni PT Toba Pulp Lestari dan Asia Pacific Rayon (APR). Sesuai keterangan di laman resmi perusahaan, APR diketahui merupakan salah satu anak perusahaan Royal Golden Eagle (RGE), milik Sukanto Tanoto. APR baru memproduksi bubur kayu jenis DWP sejak 2017.